Sementara pemerintahan Netanyahu terus mendorong perubahan rezim di Teheran, serangan-serangan Israel justru memicu efek “menggalang solidaritas nasional” di Iran. Kini, kedua pihak tengah mempertimbangkan langkah lanjutan di bawah bayang-bayang pemerintahan Trump yang sulit diprediksi.
Tak diragukan, Iran—yang selama ini menahan ancaman Israel melalui sekutu seperti Hizbullah dan rezim Assad di Suriah—telah mengalami kerugian besar akibat serangan musuh lamanya yang didukung AS. Beberapa komandan senior dan ilmuwan nuklir Iran tewas dalam serangkaian serangan tersebut.
Namun, pemerintahan garis keras Netanyahu pun tak bisa mengklaim kemenangan penuh. Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah dari posisi utamanya, meski dikabarkan terpaksa tinggal di bunker.
Perubahan rezim di Iran kini “sangat tidak mungkin terjadi,” ujar Charles Parton, mantan diplomat senior Inggris dan anggota Council on Geostrategy serta Royal United Services Institute for Defence Studies (RUSI)—dua lembaga pemikir terkemuka di Inggris.
Serangan Israel yang awalnya didukung oleh pemerintahan Trump—walau kemudian ditekan untuk menyetujui gencatan senjata—tidak akan memicu proses politik yang dapat menjatuhkan Teheran, kata Parton kepada TRT World, mengacu pada ambisi Barat dan Zionis untuk menggulingkan pemerintahan Iran saat ini.
Ini menjadi momen yang tidak nyaman bagi pemerintahan Netanyahu, yang selama puluhan tahun berusaha mengakhiri rezim pasca-1979 di Teheran. Usaha itu tetap gagal, meskipun Israel dan AS melakukan serangan langsung terhadap target-target strategis Iran, termasuk fasilitas nuklir.
Kini, kedua belah pihak tengah menghadapi dampak dari bentrokan terakhir mereka. Dalam jangka pendek, respons keras Trump terhadap pelanggaran gencatan senjata mungkin berhasil menghentikan eskalasi terbaru antara dua rival regional ini. Namun ke depan, masa depan ketegangan Teheran–Tel Aviv bergantung pada bagaimana semua pihak menavigasi perdamaian yang semakin rapuh.
Konfrontasi Israel–Iran adalah konflik jangka panjang, dan kegagalan Israel menggulingkan rezim Iran mencerminkan tantangan-tantangan pemerintahan Netanyahu yang semakin kompleks—dari perang di Gaza, kebijakan represif di Tepi Barat, hingga strategi Iran yang belum menghasilkan hasil nyata.
Siapa yang menang dalam perang 12 hari?
Meski kedua pihak menanggung kerugian besar dengan keuntungan terbatas, perang 12 hari itu tidak menghasilkan pemenang yang jelas.
Sebaliknya, perang tersebut menjadi panggung bagi “konflik jangka panjang yang terus berkembang” antara dua negara dengan orientasi ideologis dan politik yang sangat berbeda, menurut Andreas Krieg, profesor di King’s College London dan direktur MENA Analytica.
“Secara operasional, Israel unggul. Namun dari sisi ketahanan strategis dan kemampuan beradaptasi dalam deterrence, Iran yang lebih menonjol. Tak ada pihak yang mencapai hasil akhir yang menentukan, dan kawasan pun tetap dalam ketidakstabilan yang belum terpecahkan. Keduanya mengklaim ‘kemenangan’, tetapi kenyataannya, mereka masih terjebak dalam kontestasi besar yang belum memberikan keunggulan jelas bagi siapa pun,” ujarnya kepada TRT World.
Aimen Jamil, pakar urusan Iran yang berbasis di Islamabad, menyampaikan penilaian serupa. Menurutnya, konflik ini “tidak menghasilkan pemenang yang pasti.”
Meskipun serangan Israel dan AS terhadap fasilitas nuklir Iran tampaknya menunda program pengayaan uranium, serangan itu gagal “mencapai tujuan lebih besar seperti destabilisasi rezim,” kata Jamil kepada TRT World. Di sisi lain, Iran mampu mempertahankan “struktur kepemimpinan intinya,” meski harus menanggung biaya ekonomi dan militer yang tinggi.
Selama perang 12 hari, Israel menunjukkan kemampuannya dalam melakukan serangan terarah terhadap Iran, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap musuh regional lainnya seperti Hizbullah dan kelompok Houthi, yang infrastruktur mereka juga diserang pemerintahan Netanyahu.
Serangan terarah ini memungkinkan Israel keluar dari konflik dengan keunggulan militer, sambil “mengalami kerugian yang terbatas,” tambah Jamil.
Namun, ia juga menekankan realitas di lapangan: keunggulan militer Israel tidak serta merta menyelesaikan persoalan politik dan keamanan jangka panjangnya dengan Iran, sehingga “hasil strategis dari konflik ini masih belum pasti.”
Menilai kemenangan dari 3 poros
Penilaian rinci terhadap perang 12 hari “bergantung pada bagaimana seseorang mengukur konflik berdasarkan tiga poros kemenangan: pencapaian, ketegasan, dan keberhasilan,” jelas Krieg, yang juga merupakan analis pertahanan.
Dalam hal pencapaian, Israel unggul lewat pembunuhan beberapa jenderal senior Iran, kerusakan terhadap infrastruktur nuklir Iran—termasuk fasilitas bawah tanah Fordow—dan gangguan pada jaringan kepemimpinan, menurut Krieg.
“Secara taktis, ini adalah ‘kemenangan’ bagi Israel, meskipun dengan biaya finansial yang tinggi dan gangguan domestik yang signifikan,” ujarnya.
Namun, secara strategis, gambaran tersebut “jauh lebih kabur,” lanjutnya. “Keseimbangan justru condong pada ketangguhan Iran, jika bukan kemenangannya. Meski mengalami kerusakan berat, rezim Iran mampu bertahan dari serangan langsung AS dan Israel, menunjukkan kapasitasnya dalam menyerap guncangan, menjaga kohesi internal, dan mempertahankan pengaruh regional lewat aktor non-negara.”
Krieg juga menyoroti karakter strategi Iran yang “tahan risiko,” seperti balasannya terhadap Israel dan serangan ke pangkalan militer AS di Qatar. “Iran memberi sinyal bahwa mereka masih punya alat eskalasi, mampu membalas, dan tak ragu mengambil risiko untuk mendefinisikan ulang deterensinya di bawah kepemimpinan generasi baru IRGC.”
Seiring konflik panas Iran-Israel yang terus berkembang, para pakar termasuk Krieg mengingatkan potensi bahaya dari kepemimpinan baru IRGC yang lebih radikal dan berani mengambil risiko.
Secara strategis, Iran menunjukkan kapasitasnya untuk “mendeteksi ancaman” dan “bertahan,” serta memposisikan diri “bukan hanya sebagai target pasif, tetapi sebagai aktor reaktif yang tahan risiko,” menurut penilaian Krieg.
Meskipun keunggulan operasional Israel mampu “menahan dominasi strategis Iran,” pencapaian pemerintahan Netanyahu mungkin “lebih tepat disebut signifikan namun belum final—merugikan Iran, tapi tidak mengubah posisi regional maupun ambisi nuklir Teheran secara mendasar,” tambahnya.
Dari sisi ketegasan, analisis Krieg menunjukkan bahwa perang 12 hari ini justru memperburuk ketidakstabilan regional, tanpa jalur jelas menuju resolusi konflik atau perdamaian jangka panjang.
Jika Iran berhasil membangun kembali basis kekuatan dan jaringan proksinya di kawasan, ini bisa menyebabkan “keruntuhan sebagian terhadap status quo.”
“Gencatan senjata sementara yang dimediasi negara-negara Teluk sangat rapuh. Maka dari itu, tingkat ketegasan tetap rendah di kedua belah pihak,” ujarnya.
Akhirnya, dari segi keberhasilan, konflik terbaru ini menunjukkan “imbang, dengan Israel unggul secara taktis dan Iran bertahan secara strategis,” ujar Krieg. “Israel tidak kalah, tapi juga tak bisa mengklaim kemenangan. Iran menghindari kekalahan dan mempertahankan opsi strategis, sehingga bisa menyebut hasil ini sebagai ‘tidak kalah’.”