Jumlah warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir, menurut data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat. Namun, kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan masih menjadi tantangan serius bagi negara dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa.
Pada Maret 2025, sekitar 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari populasi hidup dalam kemiskinan menjadi angka terendah sejak awal tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) untuk pertama kalinya merilis data kemiskinan ekstrem bersamaan dengan angka kemiskinan nasional. Langkah ini merupakan wujud komitmen BPS dalam mendukung pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menyatakan pencapaian ini merupakan hasil dari berbagai upaya pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan program bantuan sosial yang diperluas.
“Pada pendataan Susenas, yang kita data adalah rumah tangga. Ada sekitar 345.000 rumah tangga yang menjadi sampel pada Maret 2025”, jelas Ateng pada siaran pers BPS.
Meskipun demikian, ketimpangan antar wilayah masih signifikan. Tingkat kemiskinan di wilayah perdesaan mencapai 11,03 persen, di atas tingkat di kawasan perkotaan yang berada pada 6,73 persen.
Secara geografis, 18 provinsi berada di bawah rata-rata nasional, sedangkan 20 provinsi masih memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata. Wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi tercatat di Papua Pegunungan sebesar 30,03 persen, sementara Bali mencatat tingkat kemiskinan terendah dengan 3,72 persen.

Tantangan ekonomi global
Selain penurunan angka kemiskinan, BPS juga melaporkan adanya penurunan tingkat ketimpangan yang diukur melalui gini ratio. Meski tidak disebutkan angkanya secara spesifik, hal ini dianggap sebagai tanda positif dalam upaya pemerintah mengurangi kesenjangan ekonomi.
Dalam pekan yang sama, Indonesia menandatangani kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat untuk memberlakukan tarif impor sebesar 19 persen terhadap barang-barang Indonesia di bawah ancaman tarif 32 persen yang sempat disampaikan Washington.
Kesepakatan ini juga akan membuka akses pasar AS secara lebih luas bagi produk-produk asal Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperingatkan bahwa apabila tarif tinggi tetap diberlakukan, sekitar satu juta orang Indonesia bisa kehilangan pekerjaan, yang berpotensi memicu lonjakan angka kemiskinan kembali.
“Dengan kebijakan tarif resiprokal yang akan berlaku, kita berharap para pelaku ekspor dapat segera beradaptasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi,” ujar Airlangga dalam unggahannya di platform X.
Dengan tekanan eksternal dari kebijakan perdagangan global dan tantangan internal seperti ketimpangan wilayah, pemerintah Indonesia dihadapkan pada tugas berat untuk menjaga momentum positif ini dan memastikan bahwa kemajuan ekonomi dapat dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat.