Rusia akui pemerintahan Taliban: Babak baru di medan lama
Rusia akui pemerintahan Taliban: Babak baru di medan lama
Dalam langkah bersejarah, Moskow menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan — melegitimasi mantan musuh dan mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Amerika Serikat.
7 Juli 2025

Pada 3 Juli, Rusia secara resmi mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan, menjadikannya negara pertama yang mengambil langkah ini sejak kelompok tersebut merebut kekuasaan pada Agustus 2021.

Langkah ini mengikuti hubungan yang kian menghangat antara Moskow dan Kabul selama beberapa tahun terakhir, termasuk penandatanganan kerja sama energi pada 2022, pencabutan Taliban dari daftar organisasi teroris Rusia pada 17 April tahun ini, serta pertukaran duta besar baru-baru ini.

Pengumuman pengakuan tersebut disampaikan dalam pertemuan di Kabul antara Menteri Luar Negeri sementara Afghanistan, Amir Khan Muttaqi, dan Duta Besar Rusia untuk Afghanistan, Dmitry Zhirnov.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taliban, Hafiz Zia Ahmad Takal, mengonfirmasi kabar tersebut dalam sebuah pernyataan video dan menegaskan, “Rusia adalah negara pertama yang secara resmi mengakui Imarah Islam,” mengacu pada sebutan yang dipilih Taliban untuk pemerintahannya — yang hingga kini masih ditolak secara luas oleh komunitas internasional.

Dalam pernyataan terpisah, Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut bahwa pengakuan resmi ini diyakini akan “mendorong pengembangan kerja sama bilateral yang produktif” dan berjanji akan terus mendukung Kabul dalam “memperkuat keamanan kawasan serta memerangi ancaman terorisme dan kejahatan narkotika.”

Dari musuh jadi sekutu: alasan Rusia ambil langkah pertama

Pengakuan Rusia bukan hanya pergeseran strategis, tetapi juga merupakan pembalikan sejarah yang mencolok. Moskow kini melegitimasi pemerintahan yang dibentuk oleh kelompok Taliban — penerus ideologis dari pejuang yang dulu membantu mengusir pasukan Soviet dari Afghanistan pada 1980-an.

Uni Soviet pernah menginvasi Afghanistan pada Desember 1979 untuk mendukung pemerintahan komunis saat itu, yang merupakan negara klien Moskow, dan bertahan hingga akhirnya dipaksa keluar pada 1989.

Meski perang melawan pasukan Soviet di Afghanistan menjadi bab menyakitkan dalam sejarah Rusia — dengan sekitar 15.000 tentara Soviet gugur dan berkontribusi pada runtuhnya Uni Soviet pada 1991 — peristiwa itu juga menjadi lensa bagi sebagian warga Rusia dalam menafsirkan kegagalan Amerika di kawasan tersebut.

Bagi sebagian orang, runtuhnya pemerintahan Afghanistan yang didukung AS pada 2021 dianggap sebagai pembenaran terhadap strategi masa lalu Moskow dan memperkuat keyakinan Rusia akan pemahamannya yang lebih dalam terhadap dinamika Afghanistan.

Keputusan Kremlin ini berakar pada tiga tujuan geopolitik utama. Pertama, Rusia berupaya mengisi kekosongan strategis yang ditinggalkan oleh penarikan pasukan AS dari Afghanistan pada 2021.

Menurut ilmuwan politik Charles E. Ziegler, akhir mendadak kehadiran dua dekade Amerika — yang dimulai setelah serangan 11 September di New York — menciptakan peluang bagi aktor regional seperti Rusia untuk memperluas pengaruh dan memosisikan diri sebagai pemain dominan di Asia Tengah.

Ketiadaan penerus yang dapat diandalkan untuk meneruskan visi regional Washington, menurut para pengamat, membuka jalan bagi Moskow untuk memperdalam kehadirannya dan menampilkan diri sebagai penjamin keamanan kawasan.

Rusia secara historis menganggap Asia Tengah sebagai bagian dari lingkup pengaruhnya. Langkah-langkah terbaru, seperti membentuk kemitraan bilateral dan terlibat dalam kerangka multilateral seperti Collective Security Treaty Organisation dan Shanghai Cooperation Organisation, mencerminkan dorongan yang lebih luas untuk menegaskan kembali dominasinya di hadapan keterlibatan Barat.

Pengakuan ini melengkapi langkah serupa yang diambil oleh Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan, yang belakangan memperdalam hubungan dagang dan energi dengan pemerintahan Taliban.

Isu kedua adalah pandangan yang berkembang di kalangan pejabat Rusia bahwa Taliban kini merupakan kekuatan stabilisator di Afghanistan, terutama dalam menahan pengaruh afiliasi regional dari kelompok teroris Daesh.

Pandangan ini semakin menguat seiring meningkatnya kekhawatiran keamanan terhadap operasi Daesh di seluruh Afghanistan dan Asia Tengah.

Ketegangan memuncak pada Maret 2024 ketika cabang Daesh melakukan serangan mematikan di Crocus City Hall, Moskow, menewaskan lebih dari 130 orang.

Serangan tersebut menjadi salah satu serangan teroris paling mematikan di Rusia dalam beberapa dekade terakhir, dan mendorong Moskow memperdalam koordinasi keamanan dengan Taliban, yang juga aktif memerangi Daesh di wilayah Afghanistan.

Menurut stasiun TV berbasis di London, Afghanistan International, Rusia menganggap Taliban sebagai aktor yang pragmatis — kooperatif dalam isu keamanan perbatasan dan kecil kemungkinannya menimbulkan instabilitas kawasan.

Dari perspektif Moskow, pengakuan formal terhadap Taliban bukan tentang dukungan politik, melainkan tentang memperoleh pengaruh dalam lanskap geopolitik yang terus berubah.

Faktor ketiga yang memengaruhi keputusan Rusia adalah perkembangan ekonomi narkotika di Afghanistan. Di bawah pemerintahan Taliban, produksi opium menurun drastis setelah adanya larangan penanaman poppy yang diumumkan pada April 2022.

Menurut data PBB, penanaman poppy turun lebih dari 95 persen dari 2022 ke 2023 — sejalan dengan upaya Taliban menampilkan diri sebagai pihak yang bertanggung jawab dan mampu menjawab kekhawatiran komunitas internasional.

TerkaitTRT Global - Dapatkah larangan opium Taliban bantu Afghanistan melepaskan diri dari ekonomi narkotika?

Moskow, yang selama ini terbebani oleh penyelundupan narkoba dari Afghanistan melalui Asia Tengah, melihat penerapan larangan ini sebagai potensi keuntungan dari sisi keamanan.

Namun, di balik kemajuan tersebut, terdapat tantangan struktural yang dalam. Walaupun produksi opium menurun, kekosongan itu justru mendorong peralihan menuju produksi narkotika sintetis, khususnya metamfetamin, yang menciptakan risiko baru bagi kesehatan publik dan perdagangan narkoba di kawasan.

Dengan masih banyaknya stok opium yang beredar serta meningkatnya perdagangan narkotika sintetis, Rusia tampaknya ingin mendapatkan pengaruh lebih besar dalam kebijakan anti-narkotika Afghanistan guna melindungi perbatasannya dan membendung arus narkoba regional.

Dalam konteks ini, pengakuan formal memberi Moskow jalur diplomatik yang lebih kuat untuk bekerja sama dengan Taliban dalam isu pengendalian narkoba dan keamanan bersama.

Akankah China dan negara Teluk menyusul?

Meski Rusia telah mengakui secara resmi pemerintahan Taliban, aktor regional besar lainnya mengambil pendekatan yang lebih hati-hati.

China meningkatkan keterlibatan ekonominya dengan Afghanistan sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021, namun hingga kini belum memberikan pengakuan diplomatik secara formal.

Pada Januari 2023, Beijing menandatangani kesepakatan ekstraksi minyak senilai 540 juta dolar AS dengan pemerintahan Taliban — menjadi kesepakatan energi internasional besar pertama di bawah rezim baru.

Baru-baru ini, pada Mei 2025, China, Pakistan, dan pemerintah Taliban sepakat untuk memperluas China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) ke Afghanistan, dalam upaya memperkuat konektivitas kawasan dan mendorong pembangunan ekonomi.

Langkah-langkah ini menunjukkan keterlibatan pragmatis Beijing dengan pemerintahan Taliban, yang didorong oleh kepentingan keamanan dan peluang ekonomi.

Namun, meski hubungan dagang dan infrastruktur berkembang, China tetap enggan memberikan pengakuan diplomatik formal — kemungkinan karena kekhawatiran terhadap praktik pemerintahan Taliban dan legitimasi internasionalnya.

Negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Qatar juga mempererat kontak dengan kelompok tersebut tanpa mengambil langkah pengakuan resmi.

UEA telah menjamu pejabat tinggi Taliban dan membuka kembali kedutaannya di Kabul, sementara Qatar terus memainkan peran penting sebagai mediator antara pemerintahan Taliban dan komunitas internasional.

Sejak 2013, Qatar menjadi tuan rumah kantor politik Taliban di Doha, yang kemudian menjadi tempat utama perundingan damai dengan Amerika Serikat dan pihak lainnya. Perjanjian Doha tahun 2020 antara AS dan Taliban, yang menjadi dasar penarikan pasukan Amerika, juga ditandatangani di sana.

Meski telah menunjukkan berbagai gestur diplomatik, negara-negara Teluk masih bersikap hati-hati — menyeimbangkan kepentingan regional dan kerja sama kemanusiaan dengan kekhawatiran atas reaksi global dan isu hak asasi manusia.

Pengakuan Rusia terhadap pemerintahan Taliban menandai pergeseran besar dalam cara dunia berinteraksi dengan penguasa Afghanistan, yang didorong oleh kepentingan keamanan dan geopolitik Moskow.

Namun, kekuatan regional lain seperti China dan negara-negara Teluk tetap berhati-hati, memilih pendekatan kerja sama pragmatis tanpa pengakuan resmi.

Jalan menuju legitimasi internasional bagi pemerintahan Taliban masih terjal, dibayangi oleh kekhawatiran terkait hak asasi, tata kelola, dan stabilitas internal.

SUMBER:TRT World and Agencies
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us