Perairan tenang Laut Kaspia tidak hanya mencerminkan pantai lima negara, tetapi juga ambisi, harapan, dan perhitungan strategis mereka.
Cekungan kuno ini, yang merupakan danau terbesar di dunia, telah menjadi arena permainan geopolitik modern, tempat kepentingan kekuatan besar, jalur energi, dan dilema hukum saling terkait.
Lebih dari sekadar semantik: Laut atau Danau?
Sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, lima negara pesisir Laut Kaspia Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Rusia, dan Turkmenistan gagal mencapai kesepakatan mengenai status hukum Laut Kaspia. Sebuah pertanyaan yang terlihat sederhana: Apakah itu laut atau danau? Namun, pertanyaan ini menentukan nasib triliunan meter kubik gas, miliaran barel minyak, dan koridor transportasi strategis.
Jika Kaspia dianggap sebagai danau, maka permukaan dan dasar lautnya harus dibagi secara merata di antara semua negara pesisir. Jika dianggap sebagai laut, maka Konvensi PBB tentang Hukum Laut berlaku, di mana pembagian dilakukan berdasarkan panjang garis pantai.
Dalam hal ini, Kazakhstan, dengan garis pantai terpanjang, akan menerima bagian terbesar, sementara Iran, dengan garis pantai yang pendek, mendapatkan bagian terkecil.
Dalam teka-teki hukum ini, setiap negara mempertahankan posisi yang paling menguntungkan bagi kepentingannya. Iran bersikeras bahwa Kaspia dianggap sebagai danau, yang akan memberinya bagian sumber daya sebesar 20 persen, setara dengan negara-negara lain.
Azerbaijan, Kazakhstan, dan Turkmenistan mendukung status laut, yang akan meningkatkan bagian mereka sesuai dengan panjang garis pantai mereka.
Rusia mengambil posisi khusus, tidak setuju dengan definisi apa pun, karena mengakui Kaspia sebagai laut akan mewajibkannya memberikan akses kapal asing melalui Sungai Volga, yang bertentangan dengan kepentingan strategisnya.
Sebelum runtuhnya Uni Soviet, perjanjian bilateral antara Uni Soviet dan Iran menentukan aturan navigasi dan perdagangan di Kaspia, yang secara efektif tertutup untuk negara ketiga.
Munculnya negara-negara merdeka baru sepenuhnya mengubah peta geopolitik kawasan, menjadikan pertanyaan tentang status Kaspia sebagai sengketa multilateral dengan taruhan tinggi.
Sebuah harta karun energi
Taruhannya memang sangat tinggi. Perkiraan menunjukkan bahwa cekungan Laut Kaspia mengandung sekitar 48 miliar barel minyak dan 292 triliun kaki kubik gas alam. Wilayah ini juga menjadi rumah bagi ikan sturgeon yang berharga, yang menghasilkan kaviar termahal di dunia.
Status Laut Kaspia yang tidak jelas telah menciptakan hambatan untuk mengembangkan kekayaan ini selama beberapa dekade. Yang paling kontroversial adalah deposit di Laut Kaspia bagian selatan yang diklaim oleh Azerbaijan, Iran, dan Turkmenistan. Dua konflik teritorial besar muncul: Perselisihan antara Turkmenistan dan Azerbaijan mengenai lapangan "Serdar-Kapaz", dan antara Azerbaijan dan Iran mengenai lapangan "Araz-Alov-Sharg".
Perselisihan ini terkadang berkembang menjadi situasi yang berbahaya. Pada awal 2000-an, ketegangan antara Iran dan Azerbaijan terkait wilayah Laut Kaspia yang dipersengketakan memuncak: Iran mengancam dua kapal Azerbaijan yang melakukan penelitian lapangan untuk British Petroleum, memaksa kapal tersebut kembali ke Baku, dan secara demonstratif mencabut tanda batas laut Azerbaijan. Perdana Menteri Azerbaijan, Artur Rasizade, menyampaikan ketidakpuasan resmi kepada Duta Besar Iran, Ahad Ghazai, mengenai insiden tersebut dan menuntut penjelasan.
Situasi semakin memanas pada musim panas 2001 ketika pesawat tempur Iran melanggar wilayah udara Azerbaijan setidaknya delapan kali, memasuki wilayah yang cukup dalam (hingga 100-180 km dari Baku) dan melakukan penerbangan rendah di atas pemukiman Azerbaijan.
Pada saat kritis ini, Turkiye turun tangan dalam perselisihan tersebut, memberikan dukungan militer dan politik kepada Azerbaijan. Setelah peragaan kekuatan dari Turkiye, termasuk mengirimkan tim aerobatik "Turkish Falcons" ke Baku pada 24 Agustus 2001, pelanggaran perbatasan sistematis oleh Iran pun berhenti.
Alasan Tehran untuk perilaku tersebut adalah ketidaksepakatannya dengan pembagian bagian Soviet dari Laut Kaspia di antara empat negara pasca-Soviet. Iran menuntut 20 persen dari perairan dan dasar laut untuk dirinya sendiri, terlepas dari panjang garis pantai atau hak historis.
Jalan panjang menuju konvensi
Negara-negara pesisir Laut Kaspia mulai membahas status hukum Laut Kaspia pada tahun 2002 di KTT pertama di Ashgabat. Ini diikuti dengan pertemuan di Tehran pada 2007, Baku pada 2010, dan Astrakhan pada 2014. Setiap KTT membawa negara-negara tersebut lebih dekat ke kompromi, tetapi terobosan yang menentukan baru terjadi pada 12 Agustus 2018.
Di kota Aktau, Kazakhstan, para pemimpin lima negara pesisir Laut Kaspia menandatangani Konvensi tentang Status Hukum Laut Kaspia. Vladimir Putin menyebut pertemuan ini sebagai "epokal," sementara Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev menyebutnya sebagai "Konstitusi Laut Kaspia."
Konvensi ini mewakili solusi kompromi, yang unik dalam praktik internasional. Laut Kaspia tidak didefinisikan sebagai laut maupun danau, tetapi sebagai "badan air dengan status hukum khusus" (dokumen ini menggunakan istilah "Laut Kaspia," tetapi Pasal 1 menyebutnya hanya sebagai "badan air"). Keputusan konseptual ini secara efektif mengecualikan penerapan hukum internasional atau instrumen yang berlaku untuk laut atau danau, menetapkan ketidakpastian hukum dan mempertahankan status quo.
Menurut dokumen tersebut, permukaan Laut Kaspia diatur sebagai laut: negara-negara menerima yurisdiksi atas 15 mil laut dari pantai mereka dan hak penangkapan ikan dalam tambahan 10 mil. Namun, dasar laut dan sumber daya mineralnya tidak didistribusikan secara tepat—ini diserahkan untuk perjanjian bilateral antara negara-negara pesisir. Intinya, Konvensi ini tidak menawarkan solusi untuk masalah pembagian dasar laut, hanya mengonfirmasi keadaan yang ada.
Perjanjian tersebut menetapkan aturan penting: kapal militer negara non-pesisir tidak boleh berada di perairan Kaspia. Selain itu, pihak-pihak konvensi tidak boleh menyediakan wilayah mereka kepada negara lain untuk agresi terhadap negara pesisir mana pun. Aspek militer dari perjanjian ini sepenuhnya sejalan dengan kepentingan Rusia dan Iran, yang khawatir akan kemungkinan kehadiran NATO di wilayah tersebut.
Dari perspektif Azerbaijan, Kazakhstan, dan Turkmenistan, zona demiliterisasi akan menjadi yang ideal, tetapi Moskow sudah lama menolak kemungkinan ini. Fakta bahwa kapal perang Rusia di Laut Kaspia menyerang sasaran di Suriah dan Ukraina menegaskan pentingnya militer Laut Kaspia bagi Moskow.
Aspek militer dari konvensi ini memiliki konsekuensi yang jauh bagi keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut. Larangan kehadiran militer asing dan penggunaan wilayah untuk agresi terhadap negara-negara pesisir Kaspia secara efektif mengukuhkan keunggulan militer Rusia, karena Rusia memiliki armada terbesar di Laut Kaspia. Akibatnya, Azerbaijan, Kazakhstan, dan Turkmenistan kehilangan kemampuan untuk menarik sekutu untuk kerja sama militer di wilayah tersebut.
Hal ini secara langsung melemahkan posisi negosiasi mereka terkait konstruksi pipa trans-Kaspia dan pembagian dasar laut, karena mereka menghadapi tetangga yang secara militer lebih kuat tanpa dukungan eksternal ketika perselisihan muncul. Dengan demikian, ketentuan militer dalam konvensi ini menjadi instrumen tekanan tidak langsung dalam menyelesaikan masalah ekonomi dan teritorial.
Pipa Trans-Kaspia: Impian atau kenyataan?
Salah satu isu yang paling kontroversial terkait Laut Kaspia adalah kemungkinan pembangunan pipa Trans-Kaspia yang menghubungkan Turkmenistan dan Azerbaijan. Proyek ini, pertama kali diajukan pada 1990-an, akan memungkinkan Turkmenistan, yang memiliki cadangan gas terbesar keempat di dunia, untuk memasok sumber daya energinya ke Eropa tanpa melewati Rusia—sebuah tujuan yang dengan antusias dikejar oleh negara-negara Eropa yang berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada gas Rusia.
Konvensi 2018 secara teoretis memungkinkan pembangunan pipa bawah laut, yang hanya memerlukan persetujuan dari negara-negara yang melalui bagian dasar laut mereka. Namun, dokumen ini juga mencakup ketentuan keselamatan lingkungan yang dapat digunakan untuk memblokir proyek semacam itu.
Rusia, yang tertarik untuk mempertahankan dominasi pasar gas Eropa, lama menentang pipa Trans-Kaspia, dengan alasan risiko lingkungan.
Rute baru dan realitas baru
Pada 1 Maret 2025, sebuah peristiwa bersejarah terjadi: gas Turkmenistan mulai mengalir ke Turkiye melalui Iran dalam skema penggantian SWAP. Perjanjian ini mencakup pengiriman tahunan hingga dua miliar meter kubik gas, dengan prospek peningkatan volume hingga 15 miliar. Hal ini merupakan hasil dari negosiasi intensif antara Turkmenistan, Iran, dan Turkiye.
Skema penggantian SWAP bekerja sebagai berikut: Gas Turkmenistan masuk ke Iran, dan Iran mengirimkan volume gas yang setara ke Turkiye. Secara hukum, ini dianggap sebagai gas Turkmenistan, yang menghindari sanksi internasional terhadap Iran.
Namun, Turkiye juga tertarik untuk menerima gas Turkmenistan melalui Azerbaijan dan Georgia. Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa pengiriman gas dari Turkmenistan ke Turkiye dan Eropa, bersama dengan perluasan kapasitas Pipa Trans-Anatolia (TANAP), "hanya masalah waktu."
Melaksanakan rute ini membutuhkan pembangunan pipa Trans-Kaspia di bawah Laut Kaspia. Dan di sini kita kembali pada masalah status Laut Kaspia.
Keadaan terkini dari perselisihan
Meskipun menandatangani konvensi 2018, beberapa isu tetap belum terselesaikan. Konvensi ini menetapkan prinsip umum, tetapi rincian pembagian dasar laut masih memerlukan perjanjian bilateral.
Laut Kaspia bagian utara sudah sepenuhnya dipetakan antara Rusia, Kazakhstan, dan Azerbaijan menurut perjanjian pada 2001 dan 2003 dengan menggunakan prinsip garis tengah. Namun, perselisihan teritorial antara Azerbaijan, Iran, dan Turkmenistan terus berlanjut di Laut Kaspia bagian selatan.
Setelah konvensi ditandatangani, banyak warga Iran yang menuduh pemerintah mereka "menjual" Laut Kaspia, karena bagian Iran lebih kecil dibandingkan pembagian yang setara. Presiden Iran saat itu, Hassan Rouhani, menekankan bahwa perjanjian tambahan diperlukan untuk pembagian dasar laut.
Cekungan Kaspia dan geopolitik global
Perselisihan tentang status Laut Kaspia melampaui kepentingan regional. Ini memengaruhi keamanan energi global, persaingan antara Rusia dan Barat, serta pengaruh China yang semakin berkembang di Asia Tengah.
Amerika Serikat dan Uni Eropa mendukung diversifikasi jalur energi dan mengurangi ketergantungan pada gas Rusia. Oleh karena itu, mereka tertarik untuk mewujudkan pipa Trans-Kaspia dan proyek lainnya yang dapat mengalirkan sumber daya energi Asia Tengah ke pasar Barat tanpa melewati Rusia.
China, sementara itu, telah menjadi importir gas Turkmenistan terbesar melalui pipa Asia Tengah-China. Beijing berusaha memperkuat posisinya di wilayah tersebut sebagai bagian dari "Inisiatif Sabuk dan Jalan."
Rusia dan Iran, yang menghadapi sanksi Barat, semakin memperkuat kemitraan strategis mereka dan berusaha mempertahankan pengaruh di Laut Kaspia. Konvensi 2018, yang melarang kehadiran militer kekuatan non-regional, sejalan dengan kepentingan mereka.
Masa depan Laut Kaspia
Penguatan negara-negara pesisir Laut Kaspia dan perubahan lingkungan geopolitik dapat mengarah pada perjanjian baru tentang isu-isu Laut Kaspia yang dipersengketakan. Sangat mungkin bahwa Konvensi 2018, meskipun bukan kerangka peraturan yang komprehensif, menciptakan fondasi untuk negosiasi lebih lanjut.
Proyek pipa Trans-Kaspia tetap menjadi kemungkinan yang nyata, terutama mengingat aspirasi Eropa untuk diversifikasi energi dan kepentingan Turkmenistan dalam memperluas jalur ekspor. Namun, pelaksanaannya masih bergantung pada keterjalinan kompleks antara kepentingan ekonomi, pertimbangan lingkungan, dan kalkulasi geopolitik.
Pasokan gas Turkmenistan ke Turkiye melalui Iran menunjukkan bahwa solusi pragmatis mungkin terjadi meskipun ada sanksi dan ketegangan regional. Model ini bisa menjadi contoh untuk proyek lainnya di wilayah tersebut.
Bagaimanapun juga, nasib Laut Kaspia dan kekayaannya akan ditentukan bukan hanya oleh rumusan hukum, tetapi juga oleh kemampuan negara-negara pesisir untuk menemukan kompromi yang saling menguntungkan di abad ke-21 yang penuh gejolak.
Seperti yang dengan tepat dicatat oleh Presiden Kazakhstan, Konvensi tentang Status Hukum Laut Kaspia telah menjadi semacam "Konstitusi Laut Kaspia." Dan seperti halnya setiap konstitusi, ia menciptakan kerangka kerja di mana hubungan selanjutnya harus berkembang. Mungkin tidak semua ambisi pihak-pihak yang terlibat terpenuhi, tetapi fondasi telah diletakkan untuk kehidupan berdampingan yang damai dan pemanfaatan bersama kekayaan cekungan yang unik ini.
Sementara itu, saat kekuatan besar terus memainkan peran mereka, Laut Kaspia, seperti yang telah dilakukan selama ribuan tahun, mengalirkan airnya antara Eropa dan Asia, menyimpan di dalam kedalamannya bukan hanya harta energi tetapi juga kisah-kisah peradaban kuno yang berkembang di pesisirnya jauh sebelum minyak dan gas mulai menentukan nasib bangsa.