London akhirnya mengambil sikap
“Kami melihat bayi-bayi yang kelaparan, anak-anak yang terlalu lemah untuk berdiri — gambar-gambar ini akan melekat dalam ingatan kami seumur hidup,” ujar Perdana Menteri Inggris, Kir Starmer, mengumumkan niatnya untuk mengakui Palestina.
Sebelumnya, media Inggris melaporkan bahwa Starmer mendapat tekanan dari partai sendiri, anggota pemerintah, dan Kementerian Luar Negeri untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Namun, sang perdana menteri sempat ragu mengambil keputusan karena takut dituduh anti-Semit dan merusak hubungan dengan sekutu utama Israel, yaitu AS.
Pengumuman pengakuan ini kemungkinan akan dilakukan dalam Sidang Umum PBB pada September mendatang. Keputusan London bergabung dalam “impuls yang diciptakan Prancis” disambut Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, yang mengatakan langkah ini bertujuan untuk “menghentikan siklus kekerasan yang tiada akhir.”
Contoh yang baik
Sebelumnya Presiden Prancis Emmanuel Macron berjanji akan mengakui Palestina di Sidang Umum PBB, menegaskan fokus utamanya adalah mengakhiri perang di Gaza dan membantu warga sipil.
Di antara kekuatan dunia, Turkiye justru paling aktif mendukung pengakuan Palestina. Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan menghubungi pemimpin Prancis untuk menyampaikan selamat atas keputusan itu, sekaligus menekankan memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza dan menyerukan komunitas internasional segera mengambil langkah menghentikan konflik.
Menurut Erdogan, penyelesaian konflik Israel-Palestina dan terciptanya perdamaian yang kokoh hanya bisa dicapai dengan “pembentukan dua negara.”
Saat ini, lebih dari 140 negara telah mengakui Palestina, termasuk Turkiye, China, India, Rusia, Brasil, Swedia, dan Polandia. Tahun lalu, Norwegia, Spanyol, dan Irlandia juga mengakui kemerdekaan Palestina.
Secara bertahap, negara-negara Barat pun mulai bergabung. Pada akhir Juli lalu, konferensi PBB tentang masalah Palestina yang digagas Prancis dan Arab Saudi dihadiri menteri luar negeri dari 15 negara (termasuk Kanada, Australia, Selandia Baru, Andorra, Malta, Islandia, Portugal, San Marino, dan Finlandia) yang mengeluarkan deklarasi bersama mendukung solusi dua negara atas konflik Israel-Palestina. Dukungan serupa juga disampaikan perwakilan Slovenia, Spanyol, Irlandia, Portugal, dan Norwegia — negara-negara yang telah mengakui Palestina.
Namun, ada pula negara yang menolak pengakuan tersebut, seperti Italia. Perdana Menteri Giorgia Meloni mengatakan pengakuan harus terjadi setelah terbentuknya negara Palestina secara faktual, dan sekarang “justru bisa jadi kontraproduktif” bagi tujuan itu. Meski begitu, Meloni menegaskan dirinya adalah pendukung Negara Palestina.
Inisiatif pengakuan Palestina ini mendapat reaksi keras dari Amerika Serikat. Sekretaris Negara Marco Rubio menyebutnya “keputusan gegabah yang akan menggagalkan proses perdamaian.”
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengkritik keras Paris, menyebut inisiatif tersebut sebagai “pijakan untuk menghancurkan” Israel dan mengumumkan penarikan duta besar Israel dari Prancis untuk konsultasi.
Uni Eropa mulai lelah dengan Israel
Negara-negara Uni Eropa mulai mempertimbangkan untuk mengubah hubungan dengan Israel. Jika sebelumnya mereka cenderung mendukung Tel Aviv, kini perhatian beralih pada krisis kemanusiaan di Gaza. Brussel mengecam tindakan Israel selama perang.
Kepala diplomasi Eropa, Kaja Kallas, pada pertengahan Juli mengajukan 10 opsi sanksi terhadap Israel, termasuk kemungkinan penghentian ekspor senjata. Inggris sejak musim semi lalu menangguhkan pembicaraan tentang zona perdagangan bebas dengan pemerintahan Netanyahu karena blokade Gaza.
Jerman dianggap sekutu kunci Israel di Uni Eropa, namun sikapnya mulai berubah. Kanselir Jerman Friedrich Merz mengisyaratkan bahwa pemerintahnya siap meninjau kembali Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel yang mengatur hubungan perdagangan dan kerja sama lain, mengingat “situasi kemanusiaan yang bencana” di Gaza.
Pada Mei lalu, 17 negara anggota Uni Eropa mendorong penghentian sebagian perjanjian tersebut, menuduh Israel “melanggar kewajiban hak asasi manusia” sesuai kesepakatan.
Baru-baru ini, Komisi Eropa mengusulkan pemutusan keterlibatan Israel dalam program riset Horizon Europe karena krisis kemanusiaan di Gaza. Brussels juga mengusulkan Israel dikeluarkan dari Dewan Inovasi Eropa (EIC) — bagian terpenting dari program itu yang berfokus pada teknologi mutakhir. Israel memiliki 46 perusahaan yang berpartisipasi, menerima sekitar €200 juta dalam empat tahun terakhir.
Sebelumnya, Brussels belum pernah menangguhkan negara mana pun dalam program Horizon Europe.
Profesor Universitas St. Petersburg, Natalia Yeremina, mengatakan kepada TRT Rusia bahwa situasi pengakuan Palestina sangat kompleks. Menurutnya, pernyataan Macron menunjukkan upaya Prancis mengambil peran mandiri dan tidak tergantung pada Washington.
“Saat ini situasi makin memburuk karena bukan lagi operasi militer Israel, tapi upaya menghancurkan gambaran negara Palestina dan kemampuannya terbentuk, karena Israel melakukan pembersihan total dan membunuh terutama warga sipil,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa serangan bahkan menyasar kamp pengungsi.
“Orang sulit meninggalkan daerah tersebut, ada tembakan di perbatasan, yang berarti pembersihan wilayah. Ini memicu reaksi dari negara-negara besar. Dukungan terhadap Palestina meningkat, tapi banyak negara kunci masih berhati-hati,” katanya.
Yeremina menilai Macron ingin menunjukkan kemandirian dalam pengambilan keputusan dan menegaskan kemerdekaannya dari AS.
“Presiden Prancis ini menyasar pemilih dalam negeri, berperan sebagai pembawa damai. Dia tengah mengalami penurunan popularitas dan ingin memperbaiki citranya dengan pernyataan keras. Di Prancis banyak pendatang dari Timur Tengah dan Afrika yang mendukung Palestina, sehingga suara mereka penting,” pungkas pakar tersebut.