Warga di beberapa wilayah Indonesia menentang kebisingan menara pengeras suara bergerak yang dikenal dengan sebutan sound horeg, yang mendorong pihak berwenang di Jawa Timur untuk memberlakukan pembatasan dan para pemuka agama untuk menyatakan penggunaan menara pengeras suara yang berlebihan sebagai hal yang ‘haram’.
Menara pengeras suara tersebut, yang seringkali dipasang di truk dan membunyikan musik keras hingga fajar, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari acara pernikahan, khitanan, dan perayaan Hari Kemerdekaan di pulau Jawa.
Dikenal secara lokal sebagai "sound horeg"—istilah dalam bahasa Jawa yang berarti bergetar—fenomena ini telah memicu keluhan tentang jendela yang retak, dinding yang rusak, dan malam-malam tanpa tidur.
"Suaranya menggelegar dari pukul 13.00 hingga 03.00. Mereka memainkan musik keras dan minum alkohol," ujar Ahmad Suliyat, seorang warga Desa Ngantru di Jawa Timur, kepada AFP. "Ini benar-benar mengganggu."
Video yang dibagikan di media sosial menunjukkan genteng-genteng yang jatuh dan etalase toko yang rusak akibat suara gemuruh tersebut. Reaksi keras tersebut begitu kuat sehingga pemerintah provinsi bulan ini memberlakukan aturan yang membatasi tingkat kebisingan dan membatasi waktu serta tempat penggunaan menara-menara sound horeg.
Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa kebijakan tersebut diberlakukan untuk "alasan kesehatan dan keamanan. Tingkat kebisingan harus diatur agar tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum."
Kekhawatiran kesehatan juga meningkat setelah media lokal melaporkan seorang perempuan meninggal dunia akibat serangan jantung di sebuah karnaval, yang diduga dipicu oleh sistem suara yang memekakkan telinga.
Dokter dan sejumlah ahli kesehatan juga memperingatkan bahwa paparan kebisingan ekstrem dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan meningkatkan risiko masalah jantung.
Berdasarkan aturan baru, pengeras suara stasioner dibatasi hingga 120 desibel, sementara pengeras suara bergerak yang digunakan dalam parade atau protes dibatasi hingga 85 desibel. Penggunaannya juga dilarang di dekat sekolah, rumah sakit, ambulans, dan masjid selama waktu sholat.
Pada bulan Juli, Dewan Islam setempat mengeluarkan fatwa yang menyatakan praktik tersebut "haram," atau dilarang menurut hukum Islam, jika menyebabkan kerusakan atau mengalihkan perhatian orang dari ibadah.
"Penggunaan pengeras suara secara berlebihan, terutama selama konvoi pernikahan, atau acara lain yang menimbulkan kebisingan ... adalah haram," demikian bunyi fatwa tersebut.
Namun, penegakan hukumnya masih lemah. Setelah aturan dikeluarkan, terdapat sejumlah laporan bahwa suara sound horeg masih meraung-raung di atas batasan desibel sementara pejabat setempat hanya berdiam diri.
Beberapa warga, seperti Daini, 61 tahun, tetap mendukung tradisi tersebut meskipun ada gangguan. "Kacanya retak saat acara horeg suara tahun lalu. Tapi tidak apa-apa, orang-orang di sini suka acara yang ramai." ujarnya kepada AFP Sambil menunjuk jendelanya yang retak.
Bagi para pemilik bisnis, menara-menara tersebut merupakan urat nadi perekonomian.
David Stevan Laksamana, yang menjalankan layanan penyewaan di Malang, berpendapat bahwa industri ini mendukung ribuan lapangan pekerjaan. "Saya yakin kebanyakan orang yang tidak menyukai horeg suara bukan berasal dari sini," katanya.
Namun, yang lain takut diintimidasi jika mereka mengeluh. "Saya tidak pernah mengeluh kepada kepala desa," kata Ahmad.
"Saya hanya diam. Saya takut diintimidasi jika saya bicara."