DUNIA
4 menit membaca
Jutaan imigran sebut diskriminasi dan rasisme sebagai alasan ingin tinggalkan Jerman: laporan
"Hal ini terasa di setiap lapisan sosial yang Anda masuki di seluruh negeri, di kantor pemerintahan, di sekolah, dalam interaksi dengan pegawai negeri," kata pengacara imigrasi Fatih Zingal kepada Anadolu.
Jutaan imigran sebut diskriminasi dan rasisme sebagai alasan ingin tinggalkan Jerman: laporan
Studi yang dilakukan IAB mengungkap bahwa mayoritas yang ingin meninggalkan negara adalah individu berpendidikan tinggi. / AA
20 Juni 2025

Institut Jerman untuk Riset Pasar Tenaga Kerja dan Pekerjaan (IAB) baru-baru ini melaporkan bahwa seperempat imigran — sekitar 2,6 juta orang — mempertimbangkan untuk meninggalkan Jerman. Laporan ini kembali menyoroti isu diskriminasi dan viktimisasi yang dialami warga asing di negara tersebut.

Fatih Zingal, seorang pengacara yang juga menangani kasus para migran yang terpinggirkan di Jerman, mengatakan kepada Anadolu bahwa keinginan para imigran untuk kembali bermigrasi mencerminkan meningkatnya rasisme di negara itu.

“Mereka ingin kembali, baik ke negara Eropa lain atau ke tanah air mereka,” ujar Zingal. Ia menambahkan bahwa para imigran yang datang ke Jerman kerap kesulitan beradaptasi dengan budaya lokal, dan sikap masyarakat Jerman yang cenderung tertutup menjadi faktor penting.

Zingal menjelaskan bahwa para imigran kini mulai lebih memilih negara Eropa lain karena struktur sosialnya yang lebih terbuka. “Mereka yang datang seharusnya melakukan riset terlebih dahulu; kalau tidak, mereka bisa kecewa. Bahkan orang-orang berpendidikan tinggi pun mungkin memilih pindah ke negara lain setelah satu atau dua tahun bekerja,” katanya.

“Saya juga ingin menegaskan bahwa seperempat itu bukan hanya yang ingin pulang ke negara asal. Mereka memilih pindah dari Jerman ke negara Mediterania seperti Italia dan Spanyol, atau ke negara seperti Kanada dan Amerika Serikat,” tambah Zingal.

Rasisme yang terus meningkat di Jerman

Zingal menyoroti bahwa rasisme juga menjadi faktor utama keinginan para migran untuk hengkang. “Partai sayap kanan Alternative für Deutschland (AfD) kini mendekati angka dukungan 25 persen. Anda merasakan sikap ini di setiap ruang sosial di seluruh negeri — di kantor pemerintahan, sekolah, dan dalam interaksi dengan pegawai negeri,” ujarnya.

Menekankan bahwa sikap para rasis di Jerman terhadap imigran semakin negatif, Zingal mengatakan, “Sikap ini terasa di mana-mana, dan jika satu dari empat orang punya pola pikir seperti itu, mereka tak lagi menyembunyikannya karena iklim politik mendukung. Mereka menyatakannya secara terbuka. Anda bisa merasakannya.”

Zingal mengatakan bahwa Jerman membutuhkan tenaga kerja imigran di hampir semua sektor, dan gelombang migrasi balik justru akan menambah tekanan ekonomi bagi negara tersebut.

Ia memperingatkan bahwa imigran di Jerman harus berjuang lebih keras dalam berbagai bidang, dan ini menjadi masalah besar dalam proses mereka untuk menetap. Ia pun menyoroti kesulitan para pengungsi.

“Bagi seorang pengungsi yang datang ke Jerman, menyewa rumah atau mobil bisa sepuluh kali lebih sulit dibanding warga Jerman. Bahkan jika mereka melamar pekerjaan dengan gaji dan syarat yang sama, mereka harus berusaha sepuluh kali lebih keras. Mereka merasakannya, walau tidak selalu berhadapan langsung dengan rasisme. Saya sendiri lahir dan besar di Jerman, dan bahkan mereka yang telah menjadi warga negara pun mengalami hal serupa. Tidak ada bedanya,” jelasnya.

Zingal juga mencatat bahwa meskipun kebijakan imigrasi Jerman lebih memprioritaskan warga Eropa, secara umum negara itu menerima orang dari berbagai ras. Namun, ia menegaskan, “Jika mereka yang awalnya ingin ke Jerman malah memilih negara lain — terutama AS dan Inggris — maka ini masalah besar bagi ekonomi terbesar ketiga atau keempat dunia. Para pengusaha sudah mengeluhkan kekurangan tenaga kerja.”

Masalah dalam penegakan hukum

Zingal menyebut aparat penegak hukum harus lebih tegas dalam menangani kejahatan rasial dan diskriminatif terhadap imigran. “Perlindungan hukum mungkin sudah cukup di atas kertas, tapi bisa jadi tidak ditegakkan, atau ditegakkan secara tidak memadai. Menurut saya, pelaksanaannya memang belum cukup,” katanya.

Ia menambahkan bahwa para pengungsi tak hanya mengalami kekerasan verbal, tetapi juga fisik, dan pemerintah Jerman harus menjamin keselamatan semua orang.

Zingal juga menyoroti bahwa para politisi Jerman belum cukup vokal dalam menentang tindakan rasis dan diskriminatif terhadap imigran karena takut “kehilangan suara.”

“Politik punya mekanismenya sendiri. Anda ingin menang pemilu, dan Anda melihat sekelompok orang yang mewakili 25 persen pemilih. Anda pun merasa perlu berbicara sesuai keinginan mereka. Jika arah politik Anda menyesuaikan dengan kelompok itu, maka ada masalah,” ujarnya.

Mereka yang ingin pergi justru kelompok berpendidikan tinggi

Studi yang dilakukan IAB menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka yang mempertimbangkan untuk meninggalkan Jerman adalah individu berpendidikan tinggi.

Keinginan untuk pindah paling tinggi ditemukan di sektor teknologi informasi dan komunikasi (39 persen), diikuti sektor keuangan (30 persen), dan layanan kesehatan serta sosial (28 persen).

Di antara mereka yang berencana hengkang dari ekonomi terbesar di Eropa ini, tak hanya pekerja, tapi juga mereka yang datang untuk pendidikan dan reuni keluarga.

SUMBER:TRT World and Agencies
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us