Saat kelaparan parah melanda Gaza di tengah pemboman tanpa henti oleh Israel terhadap warga Palestina yang terkepung sejak 2022, dua krisis besar terjadi secara bersamaan: kelaparan dan kurangnya akses pendidikan.
Pengalaman di zona krisis sebelumnya menunjukkan bahwa pendidikan dan kesejahteraan nutrisi saling terkait sebagai dua pilar fundamental untuk bertahan hidup – dan harus dilindungi sebagai hal yang esensial.
Menurut UNICEF, lebih dari 70.000 anak dan 17.000 ibu di Gaza saat ini menghadapi malnutrisi akut, sementara kelaparan yang dipaksakan oleh Israel telah menyebabkan kematian 367 warga Palestina.
Para ahli kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa meskipun anak-anak yang kekurangan gizi dapat dipulihkan secara fisik, mereka tetap berisiko mengalami kerusakan kognitif permanen, keterlambatan perkembangan, dan penyakit kronis.
Sementara itu, sistem pendidikan di Gaza hancur lebur.
Penilaian kemanusiaan menunjukkan bahwa lebih dari 87 persen bangunan sekolah telah rusak atau hancur, meninggalkan sekitar 625.000 siswa tanpa akses pendidikan sejak Oktober 2023.
Dua tahun pendidikan telah hilang bagi banyak anak dan mahasiswa – sebuah kenyataan yang seharusnya menjadi perhatian kita semua.
Ketika sekolah dan universitas hancur serta makanan menghilang, pikiran muda menghadapi darurat ganda yang merampas peluang bertahan hidup hari ini dan masa depan esok.
Penelitian secara konsisten mengonfirmasi bahwa malnutrisi dan kelaparan mengganggu perhatian, memori, dan kemampuan belajar, terutama pada anak-anak. Anak-anak yang terlantar dan terpapar trauma serta kekurangan seringkali menghadapi kesulitan kognitif bahkan setelah konflik berakhir.
Menurut analisis baru Integrated Food Security Phase Classification (IPC), lebih dari setengah juta orang di Gaza "terjebak dalam kelaparan, ditandai dengan kelaparan massal, kemiskinan ekstrem, dan kematian yang dapat dicegah," sementara lembaga bantuan melaporkan tingkat kelaparan yang mengerikan di kalangan anak-anak dan runtuhnya sistem pangan lokal.
Program Pangan Dunia dan UNICEF memperingatkan bahwa pasokan untuk pengobatan malnutrisi mungkin habis pada pertengahan Agustus, sementara jumlah korban jiwa terus meningkat.
Keruntuhan sistem pendidikan
Ini bukan teori abstrak; ini adalah krisis lintas generasi.
Tanpa akses ke makanan dan pendidikan, anak-anak dan pemuda berisiko menjadi "generasi yang hilang," yang tidak mampu memulihkan momentum akademik dan perkembangan mereka.
Dunia menyaksikan krisis buatan manusia ini terjadi secara nyata.
Perjalanan akademik pemuda di Gaza telah terganggu oleh perang, pengungsian, dan kini, kelaparan.
Sejak perang di Gaza dimulai, ribuan siswa dan keluarga mereka kehilangan rumah, sekolah, dan akses ke layanan dasar – termasuk makanan.
Selama hampir dua tahun, perjalanan pendidikan ini telah terhenti bagi puluhan ribu siswa.
Pemboman Israel telah menutup ruang kelas, menggusur keluarga, dan membuat banyak siswa belajar – jika memungkinkan – di tempat penampungan yang penuh sesak, di mana suara serangan udara digantikan oleh suara perut kosong yang tidak kalah menyakitkan.
Salah satu tonggak penting dalam kehidupan siswa Palestina adalah ujian tawjihi – ujian akhir sekolah menengah di Gaza yang menentukan kelayakan masuk universitas dan prospek karier masa depan.
Untuk mengembalikan secercah harapan, Education Above All Foundation, bekerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, memungkinkan lebih dari 90.000 siswa mengikuti ujian mereka melalui 100 pusat pendidikan multifungsi di seluruh wilayah yang terkepung.
Namun, pusat-pusat ini hanya dapat efektif jika kekerasan berakhir dan jalur pasokan untuk makanan serta bahan pembelajaran dapat dibuka kembali dengan aman.
Di sini dan sekarang
Bantuan internasional sering kali memperlakukan pendidikan sebagai perhatian pasca-krisis, sesuatu yang dilanjutkan hanya setelah kelaparan diatasi. Namun, ketika kelaparan melanda, pikiran manusia juga mulai menyusut.
Menunda pendidikan hingga "setelah krisis" berisiko kehilangan yang tidak dapat diperbaiki: luka pada pembelajaran, trauma yang tidak terselesaikan, dan potensi masa depan yang tidak terwujud.
Itulah mengapa penting untuk menemukan cara untuk mempertahankan pembelajaran di bawah pengepungan, seperti memberikan pelajaran digital jika memungkinkan, mengintegrasikan dukungan psikososial dalam setiap interaksi, dan mengupayakan hari di mana program pemberian makanan berbasis sekolah dapat dilanjutkan secara luas.
Di wilayah yang terkena dampak krisis berat, program pemberian makanan berbasis sekolah memiliki efek yang terbukti: meningkatkan kehadiran, meningkatkan keragaman makanan, dan memberikan perlindungan nutrisi.
Ketika sekolah ditutup, anak-anak kehilangan pendidikan dan makanan penting.
Karena di tempat di mana lebih dari separuh populasi adalah anak-anak, dan lebih dari 70 persen menghadapi ketidakamanan pangan ekstrem, memulihkan pendidikan bukan hanya tentang buku pelajaran dan ruang kelas.
Kehilangan pendidikan dan kelaparan massal bukan hanya tragedi terpisah; keduanya saling memperburuk. Tanpa intervensi yang tepat waktu, seluruh struktur masa depan Gaza berisiko runtuh.
Saat dunia memperingati Hari Internasional untuk Melindungi Pendidikan dari Serangan pada 9 September, fokusnya harus pada melindungi pikiran muda dari dampak korosif konflik dan mengembalikan martabat di tengah keputusasaan.