Bagaimana perang Israel merampas tidur warga Palestina dan memicu masalah kesehatan serius
Bagaimana perang Israel merampas tidur warga Palestina dan memicu masalah kesehatan serius
Dokter-dokter di wilayah terkepung mengatakan ratusan ribu orang, termasuk anak-anak, menderita gangguan mental akibat kurang tidur di tengah bisingnya perang yang tiada henti.
14 jam yang lalu

Di sepanjang jalan sempit yang dipadati hunian darurat bagi para pengungsi di Rafah, Gaza selatan, Abu Samer duduk terkulai di kursi reyot di depan tendanya.

Tubuh dan pikirannya lelah karena lapar dan pengungsian yang tak henti selama hampir dua tahun. Lelaki Palestina itu mencoba melelapkan mata sejenak di malam musim panas yang pengap, di tengah reruntuhan Gaza.

Namun usahanya sia-sia.

“Aku menutup mata, tapi tidur tak kunjung datang,” kata Samer yang berusia lima puluhan kepada TRT World. “Suara bising, rasa takut, dan pikiranku yang gelisah, semuanya membuatku tak bisa tidur. Saat akhirnya tertidur, dentuman bom membangunkanku lagi.”

Bagi Samer—seperti juga bagi lebih dari dua juta warga Gaza lainnya—tidur adalah kemewahan di tengah penderitaan dan kehancuran akibat serangan Israel.

Seperti banyak ayah, ia berjaga di depan tenda sementara istri dan anak-anaknya berusaha tidur, mengorbankan istirahatnya sendiri demi mereka.

“Leher dan punggungku sakit, kursinya keras. Tapi hatiku terlalu lembut untuk membiarkan mereka tidur tanpa ada yang menjaga,” ujarnya.

Di Gaza, skala perang yang menewaskan lebih dari 64.000 orang itu tidak hanya diukur dari jumlah bom yang dijatuhkan atau peluru yang ditembakkan, tetapi juga dari malam-malam tanpa tidur yang tak terhitung jumlahnya.

Kurang tidur itu membawa dampak serius.

Para dokter mengatakan ratusan ribu warga Palestina mengalami gangguan mental dan fisik akibat kurang tidur, termasuk PTSD parah, karena dentuman bom, deru tank Israel, dan ledakan jet tempur yang terus-menerus terdengar.

“Apa yang kita lihat di Gaza hari ini mirip dengan kasus penyiksaan psikologis di penjara, di mana kurang tidur digunakan sebagai cara untuk mematahkan semangat seseorang,” kata Mohammed S, seorang psikiater di Gaza yang hanya mau menyebut nama depannya demi keamanan.

Di setiap sudut wilayah terkepung itu, siang maupun malam, pemandangan orang-orang yang berusaha mati-matian mencuri waktu tidur beberapa menit saja begitu nyata—bersandar di sisa tembok yang masih berdiri, duduk terkulai di tanah, atau berbaring di atas potongan kasur tipis bersama keluarga di sekolah kosong, tenda darurat, atau tempat penampungan pengungsi.

Titik jenuh

Dengan ribuan rumah hancur total, tak jarang orang tidur berdesakan di tenda seadanya dari plastik, atau di trotoar terbuka dekat reruntuhan dan saluran air kotor.

Satu keluarga besar hingga 25 orang bisa tinggal di satu tenda kecil tanpa ruang tidur pribadi.

“Aku tidur di kursi tanpa sandaran, dengan tas sebagai bantal. Di tas itu ada dokumen identitasku; aku menjaganya agar tidak hilang kalau kami dibom,” kata Musa’ed Hamdouna, mantan penjaga sekolah UNRWA asal Rafah, kepada TRT World.

Bukan hanya bom yang menghalangi tidur. Saat siang hari suhu mencapai 34 derajat Celsius, malam pun tetap panas.

Tanpa listrik, AC hanyalah mimpi.

Mereka yang beruntung mungkin memiliki kipas bertenaga baterai, meski hanya menghembuskan udara panas di dalam tenda—sebuah kemewahan yang jarang dimiliki.

“Panasnya tak tertahankan,” kata Um Yaman, seorang ibu yang tinggal dekat Kompleks Medis Al Shifa di Gaza Utara. “Tenda seperti oven; tak ada kipas, tak ada udara segar, tak ada teduh. Anak-anak berkeringat, gelisah, dan terbangun sepanjang malam.”

“Belakangan, kami tidur di trotoar agar sedikit lebih sejuk. Tapi anak-anak terbangun karena suara kendaraan, serangan udara, dan teriakan orang. Hatiku hancur, tapi tak ada yang bisa kulakukan,” katanya kepada TRT World.

Kalaupun kepadatan dan panas malam bukan penyebab kurang tidur, rasa takut dan cemas akan perang sudah cukup membuat orang insomnia, menurut studi terbaru.

Warga Palestina hidup dalam kewaspadaan terus-menerus yang membuat tubuh sulit terlelap.

Sebuah studi kualitatif terhadap 30 warga Rafah menemukan alasan lain: orang tua berjaga sepanjang malam demi anak-anak, atau tidur bergantian karena ruang terbatas dan agar bisa segera membangunkan keluarga saat ada serangan udara.

“Kami melihat kasus ekstrem di mana orang tidak tidur lebih dari seminggu. Mereka butuh berbulan-bulan untuk bisa kembali tidur normal,” kata dr. Halima Abu Sakhila, psikiater PBB, kepada TRT World.

Dalam jangka panjang, kurang tidur bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental: menurunkan imunitas, memicu kecemasan, serangan panik, depresi, bahkan perilaku apatis, menyakiti diri, atau agresif.

Dalam kasus ekstrem, kurang tidur bisa menimbulkan halusinasi, kejang, hingga tekanan darah tinggi yang mematikan.

Pada anak-anak, kurang tidur bisa menyebabkan ngompol, mudah marah, sulit konsentrasi, dan kelelahan kronis.

Mohammed S. menyebut insomnia dan gangguan tidur di Gaza sudah mencapai level belum pernah terjadi sebelumnya.

“Lebih dari 80 persen pasien di klinik psikiatri mengeluh insomnia kronis, mimpi buruk, dan sulit tidur. Bahkan anak-anak tak lagi bisa tidur normal, hanya tidur terputus-putus karena kecemasan yang mereka alami.”

Diperkirakan sekitar 79 persen anak-anak Gaza kini sering mengalami mimpi buruk.

Menurut studi Desember 2024, setidaknya 96 persen anak Gaza percaya kematian mereka sudah dekat, sehingga sulit tidur di malam hari.

“Anak bungsuku berusia dua tahun dan belum pernah tidur nyenyak sejak perang dimulai. Suara pesawat membuat kami terjaga semalaman. Bahkan saat bombardir berhenti, kami tetap tak bisa tidur; rasa takut itu tidak mengizinkan kami beristirahat,” kata Um Ibrahim, seorang ibu lima anak dari Kamp Al Shati.

Perawatan untuk insomnia dan kurang tidur biasanya mencakup terapi perilaku kognitif, yang sebenarnya bisa dilakukan jarak jauh. Namun, keterbatasan akses internet di Gaza menjadi tantangan tersendiri. Alternatif lainnya adalah penggunaan antidepresan, tetapi pasokan obat tersebut sangat terbatas di wilayah itu akibat pembatasan bantuan medis.

Trauma yang bergerak di malam hari

Fenomena lain yang meningkat di Gaza akibat kurang tidur kronis adalah tidur sambil berjalan pada anak-anak.

Banyak ibu menceritakan bagaimana anak-anak mereka bangun di tengah malam, membuka lemari, atau mencoba keluar rumah dalam kondisi masih tidur.

Tidur sambil berjalan sering dikaitkan dengan stres akut, trauma, dan PTSD. Banyak anak Gaza menyaksikan ledakan dan kehilangan orang terkasih.

“Anak laki-lakiku yang berusia delapan tahun mulai berjalan sambil tidur setelah rumah kami runtuh menimpa kami. Setiap malam ia berjalan menuju pintu, seolah-olah berusaha melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat,” kata Dima Shehab dari Sheikh Radwan kepada TRT World.

Psikiater di Gaza menyebut tidur sambil berjalan pada anak-anak Palestina adalah konsekuensi langsung dari perang, bagian dari spektrum gangguan tidur yang semakin meluas.

“Tidur sambil berjalan bukan sekadar gangguan tidur,” kata Mohammed S. “Itu juga pesan bawah sadar dari anak bahwa ancaman bahaya belum berakhir.”

“Itu simulasi bawah sadar untuk melarikan diri, bisa jadi pengulangan momen bertahan hidup yang belum bisa diproses anak.”

Meski tidur belum diakui sebagai hak asasi manusia, semakin banyak lembaga kesehatan yang mendorong agar tidur dikategorikan sebagai hak dasar. Beberapa pengadilan, seperti di Amerika Serikat dan India, sudah memutuskan bahwa tidur adalah hak manusia.

Namun bagi warga Gaza, yang martabatnya dirampas Israel dan kebutuhan paling dasar pun sulit diakses, tidur kini hanya menjadi fatamorgana di tengah kabut perang—terasa berat di kelopak mata, namun tetap jauh dari pikiran dan tubuh mereka yang lelah.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us