Jutaan orang di Pakistan dan negara lain menyaksikan dengan ngeri saat 13 anggota dari satu keluarga terseret arus banjir bandang satu per satu di Lembah Swat yang indah.
Awalnya, para pria, wanita, dan anak-anak sedang berswafoto di tepian Sungai Swat yang hampir kering. Namun dalam sekejap, mereka terjebak di sebuah pulau kecil seukuran mobil.
Pejabat setempat mengatakan air di Sungai Swat — yang berasal dari gletser di Pegunungan Hindu Kush — naik secara drastis hanya dalam hitungan menit.
Di seluruh negeri, lebih dari 32 orang dilaporkan tewas akibat hujan lebat dan banjir, sementara pejabat pemerintah dan para ahli menegaskan pentingnya meninjau kembali permukiman yang telah menyerobot bantaran sungai dan wilayah curam.
“Intinya adalah tragedi semacam ini bisa dihindari,” kata Sherry Rehman, mantan menteri perubahan iklim dan lingkungan Pakistan.
“Jika kita memperhitungkan kenyataan bahwa respons struktural dan langsung kita terhadap cuaca ekstrem yang dipicu perubahan iklim masih jauh dari memadai. Ini harus berubah,” ujarnya kepada TRT World.
Intensitas yang terus meningkat
Meskipun Pakistan telah mengalami 29 banjir besar sejak merdeka pada 1947, Otoritas Manajemen Bencana Nasional (NDMA) mencatat bahwa banjir parah kini menjadi kejadian nyaris tahunan sejak 2010 — sebuah tren yang mengkhawatirkan dalam hal frekuensi dan intensitas.
Pada tahun 2022, Pakistan mengalami curah hujan hampir tiga kali lipat dari rata-rata di beberapa wilayah, menyebabkan banjir dahsyat yang mengakibatkan jutaan orang mengungsi.
Para ahli menyebut hujan kini menjadi lebih deras, tak terduga, dan intens akibat krisis iklim.
Suhu yang lebih hangat membuat atmosfer menampung lebih banyak uap air, sehingga berpotensi terjadi hujan deras secara tiba-tiba. Wilayah pegunungan di utara negara itu menjadi sangat rentan terhadap fenomena ini.
Bom waktu yang terus berdetak
Pakistan utara adalah rumah bagi lebih dari 7.000 gletser — salah satu jumlah terbanyak di luar kawasan kutub.
Namun suhu yang terus meningkat menyebabkan gletser-gletser ini mencair dengan cepat. Hal ini meningkatkan risiko banjir bandang akibat pecahnya danau gletser (glacial lake outburst floods atau GLOFs), yang bisa terjadi tiba-tiba saat danau gletser meluap atau jebol.
Di wilayah ini, deforestasi turut memperburuk situasi. Tanpa keberadaan pohon yang mampu menahan tanah dan menyerap air hujan, hujan deras dengan cepat berubah menjadi aliran banjir yang merusak.
Pemerhati iklim Afia Salam mengatakan kepada TRT World bahwa banjir bandang di wilayah pegunungan semakin sering terjadi akibat kombinasi curah hujan ekstrem dan perubahan pola aliran air.
“Hujan deras atau curah hujan tak biasa, seperti yang terjadi pada 2010 dan 2020, memperparah keadaan,” ujarnya.
“Di daerah seperti Kashmir dan sebagian Balochistan, topografi yang curam menyebabkan air mengalir sangat cepat ke bawah. Inilah mengapa fenomena ini disebut banjir bandang — dan ini terjadi di banyak kawasan pegunungan.”
Ketika bantaran sungai terhalangi oleh bangunan seperti hotel atau jalan raya, itu mengubah pola aliran alami sungai. “Ini bisa meningkatkan kecepatan dan kekuatan arus air, yang pada akhirnya memperbesar kerusakan,” jelasnya.
Hujan monsun, yang dulu mulai pertengahan Juli, kini datang lebih awal di akhir Juni, dengan volume yang juga meningkat.
Bahkan di kota-kota besar seperti Karachi, Lahore, dan Islamabad, banjir bandang kini menimbulkan kekacauan meskipun hujan hanya sedang. Para ahli menyebut, ini karena saluran pembuangan air hujan telah dipenuhi oleh bangunan tinggi dan struktur lainnya.
Imran Khalid dari Sustainable Development Policy Institute mengatakan bahwa dalam membahas banjir bandang, kita perlu memahami bahwa banjir sebenarnya merupakan bagian alami dari lanskap — baik di Pakistan maupun di dunia.
“Banjir bandang juga hal yang cukup wajar. Fenomena ini telah terjadi sejak Bumi terbentuk,” katanya.
Sebagai contoh, menurutnya, ketika hujan turun di perbukitan dan air mengalir melalui saluran kecil dan gorong-gorong, air itu akan mengumpulkan kecepatan. Jika ada tambahan volume air dari wilayah sekitarnya, maka kecepatannya meningkat saat mengalir turun.
Karena itu, jika curah hujan tinggi terjadi dalam waktu singkat, volume air dan kecepatannya akan meningkat secara signifikan di wilayah tertentu.
Khalid mengatakan krisis iklim memperburuk kondisi tersebut.
“Hal ini memperparah situasi dalam hal intensitas curah hujan: hujan yang deras, pencairan es — semua itu menambah volume air yang mengalir di wilayah tertentu, dan akibatnya, risiko banjir bandang meningkat,” jelasnya.
Pakistan, kata Khalid, sering dijuluki sebagai “kutub ketiga” karena memiliki jumlah gletser terbanyak di luar Kutub Utara dan Selatan.
“Karena alasan inilah, kita menjadi rentan saat gletser mencair. Jika gletser meleleh dan air masuk ke sungai, dampaknya mungkin tidak besar jika tidak ada pemukiman di wilayah itu.
Tapi yang membuat kita rentan adalah bagaimana kita membangun kota-kota kita, dan bagaimana kita terus berkembang.”