PERANG GAZA
5 menit membaca
Inggris sambut Herzog: kunjungan yang ungkap kebijakan luar negeri yang hampa
Saat beberapa negara Eropa mulai mengambil langkah meski kecil untuk menuntut pertanggungjawaban Israel, Inggris memilih menyambut Presiden Isaac Herzog, sosok yang kata-katanya membantu melegitimasi pembunuhan massal dan kelaparan di Gaza.
Inggris sambut Herzog: kunjungan yang ungkap kebijakan luar negeri yang hampa
Presiden Israel Isaac Herzog terakhir kali secara resmi berada di Inggris pada Mei 2023, beberapa bulan sebelum kekejaman yang sedang berlangsung di Gaza (Foto file) / AP
13 jam yang lalu

Sebagai Presiden Israel, Isaac Herzog dijadwalkan tiba di Inggris hari ini untuk kunjungan selama tiga hari. Posisi Inggris kini tampak memalukan, tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilainya sendiri, tetapi juga dengan semakin banyak pemerintah Eropa.

Sementara beberapa negara Uni Eropa mulai membatasi hubungan dengan Israel, Inggris bersiap menyambut seorang pemimpin yang kata-katanya memberi perlindungan politik bagi pembunuhan massal dan kelaparan di Gaza.

Herzog bukan tamu netral. Pada Oktober 2023, saat bom mulai jatuh, ia menyatakan bahwa “seluruh bangsa” Palestina bertanggung jawab atas peristiwa 7 Oktober. Dalam satu pernyataan itu, Herzog menempatkan setiap pria, wanita, dan anak Palestina sebagai pihak yang bersalah — seluruh populasi diperlakukan sebagai sasaran yang sah.

Sejak saat itu, puluhan ribu warga sipil tewas, ratusan ribu mengungsi, dan Gaza sengaja mengalami kelaparan. Herzog mungkin tidak mengeluarkan perintah militer — kekuasaan itu berada di tangan Perdana Menteri dan kabinet perang — tetapi sebagai presiden, retorikanya memiliki bobot simbolis dan moral baik di dalam maupun luar negeri.

Kata-katanya menjadi tameng legitimasi bagi kampanye hukuman kolektif yang kini oleh pakar hukum dan PBB digambarkan sebagai genosida.

Eropa mulai bergerak menuju pertanggungjawaban

Di seluruh Eropa, terdapat keraguan, langkah setengah hati, dan banyak keheningan. Namun dua negara — Spanyol dan Slovenia — bergerak lebih jauh daripada yang lain, menunjukkan setidaknya kemauan untuk mengubah kemarahan menjadi tindakan.

Spanyol memberlakukan embargo senjata total, bersama dengan larangan masuk pelabuhan dan ruang udara bagi kapal dan pesawat Israel. Slovenia melarang sepenuhnya perdagangan senjata dengan Israel dan memblokir masuknya menteri Israel yang memicu kekerasan.

Langkah-langkah ini bukan revolusioner; keduanya jauh dari standar yang diwajibkan hukum internasional. Namun hal ini menunjukkan bahwa pemerintah bisa memilih pertanggungjawaban daripada keterlibatan — jika mereka mau.

Sebagian besar negara lain bergerak perlahan. Pengadilan di Belanda menghentikan ekspor suku cadang F-35; Prancis dan Jerman mengurangi transfer senjata; Italia menangguhkan lisensi ekspor baru. Ini langkah parsial, sering disertai syarat tertentu. Meski begitu, gesture ini jelas kontras dengan Inggris, yang lebih banyak mengandalkan retorika sambil tetap mempertahankan hubungan militer dan diplomatik dengan Israel.

Sikap Inggris diperkuat beberapa hari sebelum kedatangan Herzog. David Lammy, Menteri Luar Negeri saat itu, menyatakan bahwa meskipun kehancuran di Gaza “sangat mengejutkan,” pemerintah tidak menganggapnya sebagai genosida. Dalam surat bertanggal 1 September, Lammy menulis bahwa “kejahatan genosida terjadi hanya jika ada niat khusus untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, kelompok nasional, etnis, rasial, atau agama.”

Padahal ini persis yang dilakukan Israel, baik melalui tindakan maupun retorika para pemimpinnya. Pentingnya, pada Januari 2024, Mahkamah Internasional menemukan adanya risiko genosida yang masuk akal di Gaza — temuan yang terus diabaikan Inggris.

Ketika Herzog sendiri menyatakan bahwa “seluruh bangsa” Palestina bertanggung jawab atas 7 Oktober, ia mencabut perlindungan sipil dari 2,3 juta orang dan membuka jalan bagi hukuman kolektif. Ketika menteri Israel berbicara tentang menghapus Gaza, membuat penduduk kelaparan, dan menjadikannya “tidak layak huni,” mereka menunjukkan niat tidak hanya melalui tindakan, tapi juga kata-kata.

Ketidakmampuan Inggris untuk melihat ini — atau lebih tepatnya, memilih untuk tidak melihatnya — saat menyambut orang yang melegitimasi hal tersebut, memperlihatkan kehampaan posisinya.

Pemerintah ingin memperdebatkan ambang hukum sementara warga Palestina kelaparan dan dibom. Inggris menolak menerapkan prinsip kehati-hatian yang tertanam dalam hukum internasional: mencegah genosida saat ada risiko serius, bukan menunggu putusan pengadilan setelah fakta terjadi.

Menyambut Herzog saat Gaza kelaparan

Beberapa pihak mungkin berargumen bahwa peran Herzog bersifat seremonial. Namun simbolisme penting. Kata-katanya memberi justifikasi moral bagi hukuman kolektif. Diamnya terhadap pembunuhan massal sangat mencolok. Kehadirannya di London bukan netral; itu sinyal yang disengaja.

Ketika menteri Inggris berjabat tangan dengannya, mereka berjabat tangan dengan orang yang membela anak-anak kelaparan, rumah-rumah yang dibom, dan universitas yang hancur atas nama pertahanan nasional.

Simbolisme juga penting di Inggris. Pemerintah tidak ragu menggunakan gestur simbolis dalam konteks lain: setelah invasi Rusia ke Ukraina, Inggris memberlakukan sanksi pada oligarki, melarang tokoh budaya, dan mencabut legitimasi tim olahraga. Namun soal Gaza, pemerintah yang sama memilih tersenyum dan berjabat tangan dengan orang yang melegitimasi kehancuran.

Menyambut Herzog sementara pemerintah lain — meski enggan — mulai memberlakukan pembatasan, bukan sekadar pilihan diplomatik; itu adalah keterlibatan yang dipertontonkan di panggung internasional. Inggris tidak bisa terus mengklaim menegakkan hukum internasional di Ukraina sementara mengabaikannya di Gaza. Melakukannya berarti melemahkan prinsipnya sendiri dan menampakkannya sebagai selektif.

Eropa belum melakukan cukup. Bahkan langkah Spanyol dan Slovenia masih terbatas dibandingkan skala kekejaman di Gaza. Namun kegagalan Inggris terlihat dari arah sebaliknya: ketika negara lain menerapkan akuntabilitas terbatas, Inggris memilih keramahan. Ketika negara lain mengatakan “cukup,” Inggris berkata “selamat datang.”

Kebangkrutan moral pendekatan ini jelas terlihat. Ini menunjukkan bahwa nyawa warga Palestina dianggap bisa dikorbankan, sekunder bagi kepentingan politik. Ini menunjukkan bahwa Inggris bersedia tersenyum dan berjabat tangan dengan orang yang melegitimasi kehancuran Gaza, sementara seluruh keluarga musnah dan populasi didorong ke ambang kelangsungan hidup.

Kunjungan Herzog seharusnya menjadi kesempatan bagi Inggris untuk bergabung dengan mitra Eropanya dalam menegaskan pentingnya pertanggungjawaban. Sebaliknya, ini menjadi pengingat bahwa soal Palestina, Inggris terlalu sering memilih pengkhianatan daripada prinsip.

Seperti apa bentuk genosida agar Inggris mengakuinya?

Ahmed Najar

Inggris bersikeras bahwa mereka tidak melihat genosida di Gaza. Namun jika tidak dapat melihatnya ketika anak-anak kelaparan, ketika keluarga dibom di rumah mereka, ketika seluruh lingkungan hancur, maka patut dipertanyakan: bagaimana bentuk genosida agar Inggris mengakuinya?

Kehadiran Herzog di London bukan sekadar tentang dirinya. Ini soal pilihan Inggris. Apakah ingin dikenang sebagai negara yang berbicara menentang kekejaman, atau sebagai negara yang memberi sambutan sopan sementara Gaza dihancurkan? Apakah ingin berdiri bersama beberapa negara Eropa yang bergerak, meski tidak sempurna, menuju akuntabilitas — atau dengan mereka yang percaya aliansi lebih berharga daripada nyawa manusia?

Pemimpin Inggris tidak bisa menghindar dari pertanggungjawaban ini. Menyambut Herzog sementara Gaza menderita tidak akan dianggap diplomasi. Itu akan dikenang sebagai keterlibatan.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us