Serangan Israel ke Doha pada Selasa bukan sekadar episode lain dari perang genosida berkelanjutan terhadap warga Palestina di Gaza yang dibungkus sebagai perang melawan Hamas. Ini adalah aksi agresi terencana yang terang-terangan melanggar kedaulatan Qatar sekaligus melemahkan norma internasional.
Dengan menargetkan tuan rumah netral dari perundingan damai, Israel memperluas konflik ke kawasan Teluk, menegaskan bahwa tidak ada ruang diplomatik yang aman. Serangan tak beralasan ini telah mengguncang Timur Tengah, merusak kesakralan mediasi diplomatik, dan memadamkan peluang tipis untuk gencatan senjata yang dinegosiasikan.
Pada saat dunia mulai menyatukan dukungan bagi pengakuan negara Palestina, Israel memilih eskalasi ketimbang kompromi. Waktu serangan ini jelas bukan kebetulan. Itu adalah pesan: Israel akan memaksakan prioritas militernya tanpa peduli hukum, diplomasi, atau opini global. Hasilnya adalah preseden berbahaya yang bisa menghantui bukan hanya konflik ini, melainkan juga sistem internasional secara keseluruhan.
Serangan terarah Israel di Doha menewaskan enam orang, termasuk seorang perwira keamanan Qatar dan putra Khalil al-Hayya, kepala negosiator Hamas, yang terluka parah namun selamat.
Korban-korban ini bukanlah prajurit di medan perang. Mereka adalah wakil politik yang menghadiri perundingan penting, yang digelar Qatar atas dorongan Washington. Dengan menyerang mereka di kota yang menjadi tuan rumah mediasi, Israel bukan hanya membunuh individu, tetapi juga mencemarkan prinsip perlindungan diplomatik.
Selama bertahun-tahun Qatar berperan penting sebagai perantara antara Israel, Hamas, dan Amerika Serikat. Netralitas dan kesediaannya menjadi tuan rumah menjadikannya tak tergantikan. Namun, serangan Israel mengubah netralitas itu menjadi medan perang, meruntuhkan syarat-syarat dasar yang memungkinkan dialog. Sebuah negara yang tidak sedang berperang dengan Israel, dan justru aktif memfasilitasi perundingan, kini dibombardir secara terbuka melawan hukum internasional.
Ini adalah keputusan sadar. Amerika Serikat dikabarkan memberi tahu Qatar saat serangan berlangsung, meski Menlu Qatar menyebut pemberitahuan itu datang sepuluh menit setelah serangan. Baik pertahanan AS maupun Qatar tidak bertindak, memperlihatkan rapuhnya jaminan keamanan Teluk.
Israel memilih untuk melanggar kedaulatan, menyerang di tengah negosiasi, dan mempertaruhkan stabilitas kawasan. Sebuah pilihan yang jelas merupakan eskalasi yang disengaja.
Diplomasi dilemahkan, hukum hancur
Dampaknya langsung dan menghancurkan. Serangan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Di bawah Piagam PBB, penggunaan kekuatan di wilayah negara berdaulat tanpa persetujuan, khususnya pada negara yang tidak terlibat konflik, adalah tindakan agresi.
Dengan sengaja menargetkan tokoh politik di tengah perundingan, Israel membuka dirinya terhadap tuduhan kejahatan perang dan terorisme negara. Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang sudah menghadapi tekanan untuk menyelidiki tindakan Israel di Gaza, kini berhadapan dengan kasus pelanggaran hukum lintas batas yang lebih nyata.
Reaksi kawasan menegaskan betapa serius pelanggaran ini. Iran, Arab Saudi, UEA, Yordania, Lebanon, dan Aljazair langsung mengeluarkan kecaman, memperingatkan bahwa Israel telah mengguncang stabilitas Teluk. Turkiye menegaskan, “Dengan menyerang ketika pembicaraan gencatan senjata berlangsung, Israel membuktikan tidak menginginkan perdamaian, melainkan perang, dan menjadikan terorisme sebagai kebijakan negara.”
Presiden Turkiye Recep Tayyip Erdogan menyebut serangan itu sebagai “perampokan,” menyatakan dukungan penuh bagi Qatar, dan menuntut aksi internasional terhadap agresi Israel yang meningkat.
Sekjen PBB António Guterres menyebut serangan itu sebagai “pelanggaran serius terhadap hukum internasional,” menekankan bahwa tindakan semacam ini mengancam peluang perdamaian.
Bahkan Washington, sekutu terdekat Israel, menunjukkan ketidaksetujuan. Presiden Donald Trump secara blak-blakan mengakui serangan itu merusak tujuan strategis AS, menyoroti keretakan strategis yang ditimbulkan oleh keputusan Israel.
Diplomasi bertumpu pada kredibilitas. Serangan Israel bukan hanya mengikis aura netralitas Qatar, tetapi juga meruntuhkan kredibilitas Washington sebagai penjamin keamanan kawasan. Jika mitra-mitra AS tak bisa terlindungi dari rudal Israel, bagaimana mereka bisa percaya pada jaminan Amerika?
Preseden yang membahayakan diplomasi global
Implikasinya meluas jauh melampaui Timur Tengah. Keputusan Israel membombardir Doha saat negosiasi berlangsung telah menciptakan preseden berbahaya bagi masa depan diplomasi global.
Jika kekuatan militer bisa digunakan tanpa konsekuensi di ruang yang didesain untuk dialog, maka tak ada perundingan yang benar-benar aman — tidak di Jenewa, tidak di Wina, tidak di kota netral mana pun yang ingin menjadi tuan rumah upaya perdamaian. Serangan ke Doha bukan hanya aksi agresi regional; ia adalah peringatan global terhadap keberlangsungan diplomasi itu sendiri.
Eskalasi ini juga mengubah dinamika dalam gerakan Palestina. Dengan mencoba melumpuhkan kepemimpinan Hamas di luar negeri, Israel mungkin merasa berhasil melemahkan organisasi tersebut.
Namun sejarah menunjukkan hal sebaliknya: pembunuhan terarah jarang memusnahkan gerakan, melainkan justru memberi ruang bagi figur-figur garis keras yang enggan berkompromi. Serangan Selasa berisiko menggantikan para negosiator dengan ideolog, menutup peluang dialog pragmatis, dan memperdalam siklus radikalisasi.
Lebih berbahaya lagi, Israel memperluas medan perang. Dengan membawa perang ke kawasan Teluk, Israel mengundang keterlibatan negara-negara regional kuat yang memiliki kapasitas sekaligus insentif untuk merespons.
Konflik yang semula terlokalisasi di Gaza kini berisiko berkembang menjadi konfrontasi yang bisa meluas hingga ke Teluk. Ini adalah eskalasi tanpa batas yang jelas.
Pada intinya, serangan ke Doha adalah sebuah pilihan. Israel memilih untuk menentang hukum internasional, menyerang di tengah negosiasi, dan mengguncang sebuah negara netral. Israel memilih mengedepankan taktik militer ketimbang strategi politik, kekuatan ketimbang dialog. Dengan itu, Israel telah melewati ambang batas yang akan membentuk Timur Tengah selama bertahun-tahun ke depan.
Yang hancur bukan hanya nyawa dan bangunan, tetapi juga kepercayaan — pada negosiasi, pada mediasi, pada kemungkinan perdamaian. Kehilangan itu tak terukur. Dan itu adalah kerugian bagi seluruh komunitas internasional.