AS masih enggan mengakui bom Hiroshima adalah kejahatan perang — juga Gaza, sebagai genosida
DUNIA
6 menit membaca
AS masih enggan mengakui bom Hiroshima adalah kejahatan perang — juga Gaza, sebagai genosidaDari Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 hingga Gaza pada tahun 2025, kemampuan untuk mendefinisikan apa yang dianggap sebagai kejahatan, dan siapa yang akan dituntut, tetap menjadi hak istimewa yang hanya dimiliki oleh pihak yang berkuasa.
80 tahun yang lalu, AS menjatuhkan bom atom "Little Boy" di kota Hiroshima, Jepang. / Getty Images
6 jam yang lalu

Pada suatu pagi musim panas yang sunyi di tahun 1945, Terumi Tanaka yang saat itu berusia 13 tahun sedang membaca buku, tanpa menyadari bahwa dalam sekejap, cahaya menyilaukan dan api membakar akan menghancurkan dunianya selamanya.

“Saya pertama kali mendengar suara keras pesawat pembom yang terbang,” kenang Tanaka, saat itu siswa kelas satu SMP, ketika AS menjatuhkan bom atom di Nagasaki.

“Saya berdiri dan pergi ke jendela untuk melihat langit... Lalu, cahaya yang luar biasa menyebar. Semuanya berubah menjadi putih. Tak ada suara, hanya cahaya. Saya berlari turun tangga dan berbaring di lantai, menutup mata dan telinga saya. Setelah itu, saya pingsan.”

Hari ini, tepat 80 tahun lalu, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom “Little Boy” di kota Hiroshima, Jepang. Tiga hari kemudian, bom kedua, “Fat Man,” diledakkan di Nagasaki.

Kini berusia 92 tahun dan penerima Nobel Perdamaian, Tanaka adalah salah satu dari sedikit hibakusha yang masih hidup: para penyintas bom atom AS di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.

Tiga hari sebelum kisah Tanaka itu, Hiroshima mengalami nasib serupa. Hingga kini, kedua serangan nuklir ini tetap menjadi satu-satunya dalam sejarah peperangan.

Gabungan dua bom itu: Little Boy dan Fat Man menewaskan sekitar 250.000 jiwa dan meninggalkan trauma seumur hidup bagi para penyintas, banyak dari mereka terdiam oleh penyakit radiasi atau dikucilkan sosial.

Namun, hingga 80 tahun berlalu, Amerika Serikat belum pernah meminta maaf.

Lebih buruk lagi, narasi resmi — termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa — masih gagal menyebut pelaku secara jelas. “Bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki,” begitu katanya, seolah bom itu jatuh sendiri.

Ini adalah trik bahasa yang mencerminkan penolakan lebih luas untuk mengakui bahwa apa yang banyak ahli anggap bukan sekadar pembantaian massal, tapi juga kejahatan perang.

Melakukan kejahatan tanpa hukuman

Tak mengherankan, pengeboman atom itu tak pernah dibawa ke pengadilan, karena AS adalah pelakunya.

Setelah Perang Dunia II, Washington duduk sebagai hakim sekaligus pemenang dalam Pengadilan Tokyo, sementara tindakannya sendiri, termasuk pemboman kota Tokyo dan penggunaan senjata nuklir, lolos dari pengawasan.

Sejumlah karya akademik hukum, termasuk dari mantan pejabat PBB, berargumen bahwa pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki merupakan kejahatan perang menurut standar hukum saat ini.

Para ahli hukum internasional dan sejarah mencatat bahwa serangan Hiroshima mengutamakan kematian massal warga sipil, dengan penghancuran target militer hanya sebagai alasan sekunder.

Saat ini, tindakan seperti itu akan dianggap pelanggaran berat hukum humaniter internasional, melanggar prinsip pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian sebagaimana tertulis dalam Protokol.

Analisis dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Asosiasi Pengacara Internasional Melawan Senjata Nuklir (IALANA) juga menegaskan senjata nuklir melanggar prinsip-prinsip tersebut.

Meskipun hukum ini disahkan setelah 1945, banyak akademisi berpendapat bahwa pengeboman sudah menyalahi norma peperangan saat itu, sehingga secara retrospektif dapat dianggap sebagai kejahatan perang.

“Jika Jerman atau Jepang yang mengembangkan dan menggunakan bom atom dalam Perang Dunia II terhadap kota-kota musuh, pengadilan perang di Nuremberg atau Tokyo pasti akan menyelidiki dan hampir pasti mengecam penggunaan senjata ini, serta menghukum pejabat yang bertanggung jawab sebagai penjahat perang,” ujar Profesor Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia.

Yang membuat kasus ini makin mengerikan adalah pembenaran AS sendiri: memaksa Jepang menyerah dan “menyelamatkan nyawa,” kata Presiden Harry Truman kala itu.

Namun narasi ini sudah lama diperdebatkan oleh para sejarawan yang menyatakan Jepang sudah di ambang menyerah dan masuknya Uni Soviet ke perang justru akan mengakhiri konflik.

Membentuk ingatan lewat kekuasaan

Ahli dari Hiroshima Peace Institute, Shota Moriue, sepakat.

“Pengeboman atom mengubah kota Hiroshima menjadi abu. Orang-orang kehilangan segalanya — rumah, pekerjaan, makanan, dan terutama keluarga serta teman-teman mereka,” kata Moriue kepada TRT World.

“Di seluruh Jepang, lebih dari 100 kota hancur akibat serangan udara AS. Tapi skala dan kehancuran di Hiroshima belum pernah terjadi sebelumnya.”

Di Nagasaki saja, sekitar 70.000 orang meninggal dalam lima bulan setelah bom dijatuhkan, mengalami kematian yang lambat dan menyakitkan akibat luka bakar, penyakit radiasi, dan trauma.

AS berhasil mengendalikan narasi global tentang pengeboman melalui media dan pendidikan serta pengaruh geopolitiknya selama ini. Hiroshima dan Nagasaki diajarkan di sekolah-sekolah AS sebagai keputusan strategis yang mengakhiri perang.

Film, buku pelajaran, dan peringatan sering kali menghilangkan biaya manusia, atau bahkan membenarkan tindakan tersebut.

Kemampuan menentukan apa yang disebut keadilan, apa yang dilabeli kejahatan, dan siapa yang bertanggung jawab adalah bentuk hak istimewa, yang melindungi Washington pada 1945 dan memungkinkan Israel membom Gaza tanpa hukuman di 2025.

Keputusan menggunakan bom juga didorong oleh sikap rasis dan mendemasi manusia terhadap orang Jepang. Mereka sering digambarkan sebagai “hama kuning,” “tikus menggonggong,” atau “monyet.”

Derajat dehumanisasi ini begitu meluas sehingga mutilasi terhadap tentara Jepang menjadi praktik umum di kalangan tentara Sekutu.

Bahasa serupa digunakan untuk warga Palestina yang disebut Amalek oleh Zionis. Amalek adalah “musuh Alkitab bangsa Israel,” digambarkan dalam Kitab Suci Ibrani sebagai bangsa yang menyerang mereka setelah keluar dari Mesir.

“Apa yang terjadi pada orang Jepang dalam Perang Dunia II juga merupakan pembersihan etnis, genosida, dan kejahatan perang; bukan hanya pengeboman Hiroshima dan Nagasaki tapi juga kehancuran Tokyo. Orang Jepang melewati neraka, dan kita juga sedang melewatinya,” kata Waleed Ali Siam, Duta Besar Palestina untuk Jepang.

Siapapun yang percaya Israel hanya melawan Hamas sebenarnya tidak memahami keadaan saat ini, tambahnya.

“Israel sedang membersihkan etnis Palestina; mereka melakukan genosida di Palestina,” ujarnya kepada TRT World.

Sejarah, sayangnya, berulang, begitu kata dia.

Apa yang jatuh di Gaza sejak 2003 hingga hari ini diperkirakan lebih dari 90.000 ton bom. Radiasi dari bom-bom ini melebihi Hiroshima dan Nagasaki. Dan dampaknya saat ini mungkin enam atau tujuh kali lebih buruk, menurutnya.

Menolak diam

Namun, baik di Gaza maupun Hiroshima-Nagasaki, para penyintas menolak diam.

Para aktivis selama puluhan tahun terus bersuara. Kampanye anti-nuklir yang dipimpin oleh hibakusha mendorong terciptanya Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) pada 2017.

Generasi muda, terutama di Global Selatan, semakin mempertanyakan narasi Barat dominan tentang “perang yang adil” dan “kekerasan yang perlu.”

Namun semuanya itu tak mengubah fakta bahwa setiap peringatan, AS tetap diam. Tak ada permintaan maaf. Tak ada pengakuan kesalahan. Hanya keheningan yang mengisyaratkan bahwa tujuan membenarkan cara dan bahwa korban sipil adalah harga yang harus dibayar untuk kemenangan.

“Pertama dan terutama, Hiroshima mengingatkan kita akan biaya manusia yang tak terbayangkan dari peperangan nuklir. Kematian, luka, dan penderitaan jangka panjang bukanlah statistik abstrak. Mereka adalah anak-anak, orang tua, pekerja, dan pelajar,” kata Moriue.

“Bom itu menghancurkan kehidupan, keluarga, dan generasi yang akan datang,” tambahnya.

Saat para penyintas terakhir seperti Tanaka semakin menua, risiko melupakan ketidakadilan itu semakin besar. Mengenang Hiroshima secara jujur bukan hanya tentang berduka. Ini tentang melawan ketidakadilan serupa.

“Kota ini sengaja memilih untuk tidak terjebak dalam balas dendam atau kemarahan, melainkan fokus pada mengenang, menyembuhkan, dan diplomasi,” kata Moriue.

“Dengan melakukan itu, Hiroshima telah menjadi pesan hidup bagi dunia. Tak ada lagi Hiroshima.”

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us