Penipuan dan spionase telah menjadi bagian dari strategi perang sejak zaman kuno. Di era modern, taktik ini kembali mencuat, kini dipadukan dengan teknologi canggih seperti drone dan bahan peledak pintar. Dalam konflik terkini, taktik tersebut terbukti mampu memberikan dampak besar dengan biaya kecil.
Salah satu contohnya: serangan drone Ukraina ke jantung wilayah Rusia dalam Operasi Spiderweb pada 1 Juni lalu. Puluhan pembom strategis Rusia hancur akibat serangan ini, mengguncang keyakinan lama soal bagaimana kekuatan militer harus diproyeksikan dan dilindungi.
Serangan itu bukan hanya operasi militer, melainkan hasil dari penyusupan intelijen dalam. Drone-drone disembunyikan di dalam rumah-rumah prefab yang diangkut dengan truk, lalu diluncurkan dari dalam wilayah Rusia sendiri. Dari lima pangkalan udara yang menjadi sasaran, empat berhasil diserang. Lebih dari 20 pesawat rusak, 12 di antaranya hancur total. Serangan ini melumpuhkan sebagian besar kemampuan Rusia untuk meluncurkan rudal jelajah—salah satu keunggulan utama Moskow dalam perang.
Di balik sorotan kecanggihan militer, satu hal yang paling mengejutkan dari Operasi Spiderweb adalah harga drone yang digunakan: tak sampai 1.000 dolar per unit. Di tengah tren global belanja militer yang terus melonjak, ini menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa anggaran besar tidak selalu berarti perlindungan yang lebih baik.
Tahun 2024 mencatat belanja militer global mencapai $2,7 triliun—angka tertinggi sejak akhir Perang Dingin, menurut Stockholm International Peace Research Institute. Lima negara—AS, China, Rusia, Jerman, dan India—menghabiskan 60% dari total itu, dengan AS saja hampir menyentuh angka $1 triliun.
Peningkatan ini mencerminkan kekhawatiran strategis yang berubah, menurunnya kepercayaan terhadap aliansi lama, dan ketidakpastian terhadap tatanan dunia. Dari invasi Rusia ke Ukraina, serangan Israel di Gaza, hingga kekhawatiran akan komitmen keamanan Amerika, dunia tengah memasuki masa yang tak stabil, dengan teknologi dual-use menyebar cepat.
Diperkirakan belanja militer akan terus naik. Namun medan perang tengah berubah cepat—lebih cepat dari doktrin dan sistem pengadaan senjata. Operasi asimetris, sistem otonom, dan penargetan algoritmik kini menjadi pilar medan tempur modern.
Tanpa upaya sadar untuk bertransformasi dan mengintegrasikan teknologi, militer bisa jadi lamban dan rentan. Dalam era perang berbasis data dan sistem murah yang bisa dikorbankan, keunggulan bukan lagi soal jumlah atau kekuatan, tetapi soal fleksibilitas, konektivitas, dan kecerdasan dalam berinovasi.
Anggaran besar tidak akan menggantikan kejelasan strategi. Tanpa perubahan menuju model proyeksi kekuatan yang terdesentralisasi dan berbasis teknologi, investasi hari ini bisa menjadi kelemahan esok hari.
Berpindah ke paradigma baru
Sistem militer tradisional seperti tank, jet tempur, dan kapal perang berawak memang masih penting untuk pencegahan konflik dan pertempuran skala besar. Tapi jika tidak terintegrasi dalam sistem tempur multi-domain yang terhubung—melibatkan sistem nirawak, komando berbasis AI, dan intelijen real-time—kemampuan mereka akan cepat menurun.
Dari Ukraina hingga perbatasan India–Pakistan, konflik terbaru menunjukkan bahwa keunggulan strategi kini berada pada kelincahan dan interoperabilitas.
Tujuannya bukan membuang sistem lama, tapi menyesuaikan peran mereka dalam kerangka operasi yang lebih luas. Di masa depan, keunggulan militer tidak lagi ditentukan oleh besar dan mahalnya alat tempur, melainkan oleh kemampuannya untuk beradaptasi dan terintegrasi.
Transformasi ini sudah berlangsung. Drone kamikaze, sistem AI targeting, dan senjata murah yang bisa dikorbankan sedang mengubah wajah medan tempur.
Beberapa negara sudah beradaptasi. Inggris, misalnya, lewat strategi “20-40-40”-nya, menargetkan 20% platform masa depan mereka adalah sistem berawak, 40% nirawak yang bisa digunakan ulang, dan 40% sisanya adalah sistem murah sekali pakai.
Pendekatan ini tidak mengandalkan satu jenis kekuatan, tapi pada integrasi dan kombinasi. Pelajaran dari Ukraina jelas: senjata murah dan fleksibel bisa melumpuhkan sistem yang jauh lebih canggih.
Spiderweb: Mengubah permainan strategi
Setelah 18 bulan perencanaan, Dinas Keamanan Ukraina (SBU) berhasil menyelundupkan 117 drone ke wilayah Rusia, tersembunyi dalam truk yang dimodifikasi. Serangan diluncurkan dalam gelombang terkoordinasi, menyasar pangkalan udara tempat pesawat-pesawat strategis Rusia—Tu-95, Tu-22M3, A-50, dan Il-78—berada. Semua aset ini vital bagi kemampuan serangan jarak jauh Rusia.
Operasi ini tidak sebesar Pearl Harbor, tapi dampak strategisnya sebanding: ia mengguncang dasar asumsi militer klasik.
Beberapa drone dilengkapi sistem kontrol hibrida—navigasi otonom dikombinasikan dengan pengawasan manual. Ada juga yang menggunakan algoritma penargetan berbasis AI, dilatih pada pesawat pensiunan di museum, sehingga bisa menyerang titik-titik lemah seperti tangki bahan bakar dan bawah sayap. Karena diluncurkan dari dalam Rusia, drone ini bisa menghindari radar dan sistem pertahanan yang dirancang untuk ancaman kecepatan tinggi di ketinggian.
Dengan biaya sekian persen dari serangan udara konvensional, Ukraina menimbulkan kerugian miliaran dolar. Operasi ini tidak hanya efektif secara taktis, tapi juga mendobrak asumsi lama tentang pertahanan dan pencegahan.
Ini menegaskan asimetri antara platform mahal dan sistem attritable—senjata murah yang sengaja dirancang untuk serangan massal, mudah diproduksi, dan mematikan.
Era senjata sekali pakai
Kesuksesan Ukraina bukan kebetulan. Operasi Spiderweb adalah contoh nyata bagaimana wajah perang modern sedang berubah. Ukraina memproduksi lebih dari 2,2 juta drone tahun lalu dan berencana menggandakan jumlah itu. Hingga 80% korban di garis depan kini disebabkan oleh drone satu arah dan drone FPV murah.
Namun banyak perencana militer masih terpaku pada sistem lama. Terus berinvestasi pada sistem berawak tanpa reformasi doktrin ibarat masih mengandalkan kavaleri saat perang sudah memasuki era tank.
Di masa ketika satu drone murah bisa menghancurkan jet miliaran dolar, kerentanan pangkalan udara dan sistem terpusat makin jelas. Tanpa perubahan menuju interoperabilitas dan fleksibilitas teknologi, pelajaran dari Spiderweb sangat gamblang: tanpa inovasi doktrin, teknologi tercanggih sekalipun bisa menjadi beban.
Dunia butuh sistem pertahanan berlapis, bukan hanya berbasis tank dan rudal, tetapi juga anti-drone, infrastruktur tahan serangan, dan sistem perang elektronik adaptif.
Operasi Spiderweb kini dipelajari serius oleh NATO. Dengan jumlah pasukan terbatas, Ukraina membalikkan keadaan lewat keunggulan teknologi, mengubah intelijen menjadi dampak strategis berkat presisi algoritmik.
Yang dibutuhkan bukanlah penghapusan sistem lama, tapi reinterpretasinya. Platform tradisional harus beroperasi selaras dengan sistem sekali pakai, di bawah komando yang terdesentralisasi dan sistem penargetan berbasis data.
Pertanyaan terpenting bagi para perencana pertahanan kini bukan lagi seberapa besar anggaran yang dibutuhkan. Tapi: apakah investasi hari ini mencerminkan ancaman masa kini—atau sekadar kebiasaan masa lalu?