Mengapa prediksi gempa bumi tetap menjadi ilmu yang tidak dapat diprediksi
Mengapa prediksi gempa bumi tetap menjadi ilmu yang tidak dapat diprediksi
Para ahli mengatakan bahwa prakiraan gempa "sangat sulit" karena kompleksitas garis patahan, titik-titik di mana lempengan padat yang besar dan tidak beraturan bertemu di bawah permukaan Bumi.
1 Agustus 2025

Gempa bumi berkekuatan 8,8 skala Richter, salah satu dari 10 gempa terkuat yang pernah tercatat, mengguncang wilayah Timur Jauh Rusia pada Rabu pagi, memicu peringatan tsunami di seluruh kawasan Pasifik.

Meskipun “gelombang tsunami” dilaporkan terjadi di Jepang dan Alaska, kepanikan menyebar dari Jepang hingga ke negara bagian Hawaii di Amerika Serikat. Pemerintah bergerak cepat untuk mengevakuasi kota-kota pesisir yang menghadapi risiko gelombang besar yang berpotensi menghantam daerah perkotaan.

Meskipun kemajuan ilmiah telah memungkinkan manusia untuk memprediksi bencana alam besar seperti tsunami, gempa bumi tetap sulit diprediksi. Tidak ada sistem peringatan yang akurat untuk gempa bumi, dan kemajuan dalam membangun sistem semacam itu masih sangat terbatas.

Para ahli mengatakan bahwa memprediksi gempa bumi sangat sulit karena kompleksitas garis patahan, yaitu titik-titik di mana lempeng tektonik yang besar dan tidak beraturan bertemu di bawah permukaan bumi.

Lempeng-lempeng ini terus bergerak, meskipun dengan kecepatan yang sangat lambat, hanya beberapa sentimeter per tahun. Pergerakan lempeng tektonik ini didorong oleh arus di mantel bumi, lapisan di bawah kerak bumi dan di atas inti.

“Mencoba membedakan sinyal yang jelas sebagai pendahulu pergeseran besar yang berpotensi bencana dari latar belakang pergerakan normal bumi sangatlah sulit,” kata Kit Yates, dosen senior biologi matematika di Universitas Bath, Inggris.

Membedakan sinyal aktivitas seismik yang sebenarnya dari aktivitas manusia, seperti pekerjaan konstruksi, lalu lintas berat, dan bahkan konser musik, hampir tidak mungkin dilakukan.

Sebagai contoh, penyanyi AS Taylor Swift tampil pada Juli 2023 di sebuah stadion yang dihadiri 72.000 orang, menyebabkan aktivitas seismik setara dengan gempa berkekuatan 2,3 skala Richter.

Para seismolog mengatakan bahwa gempa bumi tidak selalu memiliki tanda-tanda peringatan yang konsisten. Dengan kata lain, lembaga penelitian geologi dapat mengumpulkan data aktivitas seismik dengan sangat teliti selama bertahun-tahun, namun tetap bisa melewatkan gempa besar hanya karena tidak adanya tanda peringatan.

Ilmu di balik gempa bumi

Batas-batas tempat lempeng tektonik saling berinteraksi adalah zona utama terjadinya gempa bumi. Ada tiga jenis utama batas lempeng: divergen, konvergen, dan transformasi.

Pada batas divergen, lempeng-lempeng bergerak menjauh, menciptakan kerak baru. Batas konvergen melibatkan tabrakan lempeng, di mana salah satu sering kali terdorong di bawah yang lain.

Batas transformasi, di mana lempeng-lempeng bergeser secara horizontal, adalah yang paling sering menghasilkan gempa bumi.

Gempa bumi terjadi ketika tekanan yang terakumulasi di sepanjang batas lempeng ini melebihi kekuatan batuan, menyebabkan batuan tersebut retak dan melepaskan energi dalam bentuk gelombang seismik.

Jika aktivitas seismik terjadi di bawah dasar laut dekat wilayah yang berpenduduk, hal ini dapat menciptakan tsunami dengan gelombang besar yang menghancurkan wilayah pesisir.

Kekuatan gempa bumi, yang diukur pada skala Richter, mencerminkan energi yang dilepaskan. Intensitas gempa yang dirasakan di permukaan bergantung pada faktor seperti kedalaman, jarak dari pusat gempa, dan kondisi lokal.

Energi yang dilepaskan selama gempa bumi bervariasi. Gempa kecil, yang sering terjadi, melepaskan energi dalam jumlah kecil dan sering kali tidak terasa. Namun, gempa besar dapat melepaskan energi setara dengan ribuan bom atom, menyebabkan kerusakan yang sangat besar.

Kemajuan teknologi, seperti pembelajaran mesin dan pemantauan waktu nyata, telah meningkatkan kemampuan seismolog untuk mendeteksi pola dan memberikan peringatan cepat, tetapi hanya setelah gempa dimulai.

Sistem peringatan dini gempa bumi, seperti yang ada di Jepang dan California, menggunakan gelombang seismik awal untuk memberi peringatan kepada masyarakat beberapa detik hingga menit sebelum guncangan mencapai mereka. Sistem ini mendeteksi gempa yang sudah berlangsung, bukan memprediksi sebelum gempa dimulai.

Hambatan besar lainnya dalam prediksi yang tepat adalah jarangnya gempa besar. Gempa besar jarang terjadi, sehingga data yang diperlukan untuk memahami tanda-tanda pendahulunya tidak mencukupi.

Para ahli mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya mengadopsi langkah-langkah mitigasi mengingat tidak adanya sistem prediksi gempa yang andal. Langkah-langkah ini meliputi penerapan kode bangunan yang lebih kuat, memperkuat infrastruktur, dan edukasi publik.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us