PERANG GAZA
5 menit membaca
Rasa takut dan ketidakpastian menyelimuti Gaza di tengah rencana aneksasi Israel
Warga di wilayah Gaza yang dilanda perang khawatir pengungsian sementara bisa berubah menjadi permanen seiring pejabat Israel memberi sinyal rencana aneksasi wilayah.
Rasa takut dan ketidakpastian menyelimuti Gaza di tengah rencana aneksasi Israel
Di dalam penampungan al-Mawasi miliknya, Sulaiman al-Gharabli duduk tenang di belakang sementara beberapa anaknya sibuk dengan pekerjaan rumah (Mohamed Solaimane). / Others
sehari yang lalu

Sulaiman al-Gharabli memeluk putranya yang berusia empat tahun, Abdullah, sementara ombak menerjang kamp-kamp pengungsian darurat di pantai al-Mawasi. Pria Palestina berusia 45 tahun dan ayah dari lima anak ini menatap ke arah Laut Mediterania, matanya mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui: akankah ia bisa kembali ke rumahnya di lingkungan al-Nasr, Rafah timur?

Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah menyetujui langkah awal untuk memperluas kendali Israel atas Gaza, sementara Menteri Keuangan Bezalel Smotrich secara terbuka mendorong pemukiman Yahudi di wilayah tersebut. Perkembangan ini memicu kekhawatiran di kalangan 2,3 juta penduduk Gaza bahwa pengungsian mereka akan menjadi permanen.

“Aku nyaris tak sanggup menjaga keluargaku tetap hidup dari kelaparan, dan sekarang kami tiba-tiba dihadapkan pada ancaman aneksasi sebagian Jalur Gaza,” kata al-Gharabli, suaranya bergetar sambil memeluk erat anaknya. “Ini seperti disambar petir—wilayah yang direncanakan untuk dianeksasi berarti hilangnya masa kini dan masa depan.”

Selama 22 bulan terakhir invasi militer Israel, mayoritas penduduk Gaza telah mengungsi, banyak di antaranya berkali-kali, ke kantong-kantong wilayah yang semakin menyusut di enklave yang terkepung.

Al-Gharabli sendiri telah mengungsi enam kali sejak Mei tahun lalu, mencerminkan kecemasan yang meningkat di kalangan pengungsi Gaza ketika pernyataan Israel tentang pembuatan “zona keamanan” semakin terdengar seperti perubahan teritorial permanen, bukan sekadar langkah militer sementara.

Di pantai, perdebatan sengit meletup di antara para tetangga, sebagian menolak percaya aneksasi mungkin terjadi, sementara yang lain yakin itu tak terelakkan. Suara debat makin keras ketika keluarga-keluarga bergulat dengan kemungkinan kehilangan seluruh harta yang pernah mereka miliki.

Saat jeda gencatan senjata tiga bulan lalu, al-Gharabli sempat melihat sekilas lingkungan lamanya dari kejauhan. Ia mendapati bangunan tempat apartemennya dan rumah saudara-saudaranya berdiri telah hancur total, namun ia masih menggantungkan harapan untuk kembali dan membangun ulang suatu hari nanti.

“Dengan pengumuman aneksasi ini, penjajah berkata langsung kepada kami: kalian tidak akan kembali ke rumah lama kalian meski hanya berupa puing, dan kalian harus mencari tempat lain,” ujarnya. “Ini berarti bentuk pengungsian lain—keluar dari Gaza. Mereka tak mau kami di sini, bahkan jika kami rela tinggal di antara reruntuhan.”

Kabinet Israel baru-baru ini menyetujui langkah untuk mempertahankan “kebebasan operasi” jangka panjang di seluruh Gaza, menandakan pergeseran kebijakan dari pendudukan sementara ke kendali permanen.

Bagi warga seperti al-Gharabli, ini selaras dengan ketakutan terdalamnya.

“Kalian tidak bisa menganggap ancaman penjajah sebagai taktik negosiasi,” katanya sambil menunjuk ke arah tendanya yang lusuh. “Ini adalah kenyataan yang ingin mereka tetapkan di lapangan, dan tak ada yang bisa menghalangi mereka, baik secara militer maupun politik.”

Respons internasional yang terbatas

Hassan Abu Ouda, yang mengungsi dari Beit Hanoun di utara Gaza, percaya aneksasi itu sudah dimulai.

Ayah enam anak berusia 38 tahun itu mengenang pengungsian terbarunya dimulai ketika Israel melanjutkan serangan militer pada 18 Maret, setelah 47 hari kembali ke Beit Hanoun selama jeda gencatan senjata.

“Israel tak terbendung, apalagi di tengah diamnya dunia,” katanya.

Respons internasional sebagian besar terbatas pada protes diplomatik. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan terhadap aneksasi, sementara Uni Eropa menegaskan kembali penolakannya terhadap setiap perubahan status teritorial Gaza.

Namun, pernyataan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bahwa mereka “tidak mendukung perubahan teritorial apa pun di Gaza” dinilai tidak cukup, meninggalkan warga Palestina seperti Abu Ouda merasa ditinggalkan.

Mengoperasikan kios plastik kecil yang menjual rokok, Abu Ouda meninggalkan sisa-sisa rumahnya dan sepuluh dunam (satu hektare) lahan pertanian di Beit Hanoun.

“Memang benar aku sibuk mencari nafkah untuk anak-anakku di al-Mawasi, tapi demi Tuhan, jiwa dan pikiranku ada di Beit Hanoun, tempat aku lahir, tumbuh, menikah, dan memiliki enam anak,” kenangnya.

Abu Ouda khawatir kebijakan Israel bertujuan menghancurkan masa depan generasi Gaza. “Keputusan politik ini akan semakin menyempitkan Gaza yang sudah sempit dan membuat kami hidup dalam bencana kompleks selama puluhan tahun,” ujarnya.

‘Aneksasi itu pasti datang’

Dr. Sami al-Astal, analis politik dan akademisi di Universitas Al-Aqsa Gaza, mengatakan tak ada yang menghalangi Israel untuk melanjutkan aneksasi. Ia mencatat bahwa penghancuran sistematis di seluruh Gaza sejalan dengan pola yang terlihat pada ekspansi teritorial lainnya.

“Wilayah-wilayah yang ditargetkan dikosongkan dan dihancurkan di utara, selatan, dan timur Jalur Gaza, di bawah kendali militer penuh tentara Israel dan dengan dukungan politik signifikan dari pemerintahan Amerika,” jelas al-Astal.

Pembatasan media yang diberlakukan Israel telah membatasi pengawasan internasional, menciptakan kondisi yang memudahkan aneksasi tanpa terdokumentasi.

Ahed Frawana, analis politik dan peneliti, menambahkan bahwa tindakan Israel dipandu agenda religius-nasionalis, menggunakan perang saat ini untuk mengejar ambisi teritorial yang telah lama dipegang.

“Penjajah mengklaim apa yang dilakukannya adalah bagian dari ancaman kepada Hamas terkait negosiasi,” kata Frawana. “Namun pengalaman dan kenyataan telah membuktikan bahwa tujuannya adalah aneksasi, pendudukan, kendali, dan pengusiran. Cerita soal kebutuhan keamanan dan zona penyangga hanyalah alasan—kebenarannya adalah mereka menginginkan tanah tanpa penduduk untuk ditambahkan ke Israel.”

Kembali di pantai al-Mawasi, Abu Ouda memandangi anak-anaknya bermain di pasir, berdoa untuk persatuan Palestina demi menyelamatkan apa yang tersisa.

“Mereka ingin memaksa kami mengungsi—bukan secara sukarela, tapi terpaksa. Mereka ingin menghapus semua sarana kehidupan dan mendorong kami keluar,” tegasnya.

Sementara itu, al-Gharabli, yang masih memeluk putranya saat senja tiba di pantai, melontarkan pertanyaan yang kini menghantui banyak pengungsi Gaza: “Akankah kami hidup di periode mendatang di tenda-tenda di pantai? Akankah masa kini dan masa depan anak-anak kami hilang, dan nasib kami menjadi pengungsian terus-menerus atau migrasi paksa?”

Berita ini dipublikasikan bekerja sama dengan Egab.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us