Pada puncak pandemi global di bulan Desember 2020, Billal Higo sedang berada di dalam pesawat dari Munich menuju Istanbul ketika ia mendapatkan inspirasi.
Keinginan Billal untuk memperkuat pertumbuhan pribadi dan spiritualnya semakin kuat. Keputusannya untuk memulai perjalanan mengunjungi masjid menjadi titik balik penting dalam hidupnya, menandai pergeseran fokus dari karier suksesnya di bidang penerbangan menuju pengembangan pribadi dan spiritual.
Duduk di dalam penerbangan menuju Istanbul, Billal bertanya pada dirinya sendiri, “Berapa banyak masjid yang bisa saya kunjungi untuk shalat selama perjalanan ini?”
“Saya berpikir, jika saya shalat berjamaah untuk setiap waktu shalat di satu masjid selama 21 hari, maka saya akan shalat di 105 masjid yang berbeda,” ujar Billal kepada TRT World.
Terinspirasi oleh sabda Nabi Muhammad, “Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau seorang musafir,” Billal memulai perjalanan penemuan imannya dengan menjelajahi keragaman identitas Muslim melalui perjalanannya ke berbagai belahan dunia.
Kisah Billal menjadi inspirasi dan bahan refleksi bagi orang lain saat musim tahunan Haji dimulai—waktu di mana jutaan Muslim berkumpul di kota suci Mekah untuk memohon ampunan dan merasakan persatuan yang mendalam dengan saudara-saudara Muslim mereka.
Pejabat dari Arab Saudi memperkirakan sekitar dua juta Muslim bergabung dalam ibadah haji tahun ini yang dimulai pada hari Senin. Salah satu pertemuan keagamaan terbesar di dunia ini kembali ke kapasitas penuh setelah tiga tahun pembatasan akibat Covid-19.
Perjalanan ke Istanbul
Menjelaskan tujuan ambisius yang ia tetapkan untuk dirinya sendiri, Billal langsung mengirimkan pesan tentang ide ini kepada temannya, Karim, yang sedang berada di pesawat lain dari Berlin menuju Istanbul.
Penutupan sementara masjid selama pandemi memberikan dampak mendalam bagi banyak Muslim, termasuk Billal. Sebelum lockdown Covid, ia menghabiskan banyak waktu bersosialisasi, shalat, dan belajar di masjid.
Billal telah mempelajari Psikologi Budaya dan Sosial di London School of Economics dan menyelesaikan penelitiannya pada tahun 2021 tentang 'krisis identitas budaya dan agama di kalangan Muslim di Jerman'. Ia menghabiskan banyak waktu di masjid saat meneliti topik tersebut.
‘Mengisi ulang tangki spiritual’
Dalam perjalanan tiga minggu ke Turkiye ini, Billal menggambarkan niatnya sebagai upaya untuk “mengisi ulang tangki spiritualnya.”
“Ini adalah pertama kalinya saya secara khusus menetapkan niat untuk shalat semua atau sebagian besar waktu shalat di masjid selama perjalanan saya,” katanya, menyadari pentingnya ruang-ruang suci dalam memahami dan merangkul keragaman komunitas Muslim global.
Pengalaman ini menjadi titik balik penting dalam hidupnya, ujar Billal, yang kini bekerja sebagai terapis konseling, peneliti psikologi budaya, dan calon psikolog klinis.
Dalam dua tahun terakhir, Billal telah mengunjungi 19 negara—dari Turkiye hingga Afrika Selatan. Dalam perjalanannya, ia juga mengunjungi Bosnia, Tajikistan, Kirgistan, Uzbekistan, serta mencapai Mesir dan Arab Saudi.
Melalui perjalanannya, Billal ingin “mengenal dan memahami keragaman Muslim di berbagai belahan dunia melalui kunjungan ke masjid-masjid dan mendapatkan wawasan berharga dari budaya mereka.”
Pemberhentian pertama: Masjid Biru Istanbul
Dalam perjalanannya dari Istanbul, Billal dan temannya, Karim, memulai rute yang tidak biasa, dimulai dari Masjid Biru yang bersejarah, sebuah tempat ibadah era Ottoman dengan enam menara yang dibangun oleh Sultan Ahmed I dan selesai pada tahun 1616.
Dari sana, perjalanan darat mereka membawa mereka ke provinsi-provinsi Turkiye yang kurang turis seperti Bilecik, Afyon, Aksaray, dan Zonguldak, mengunjungi sebanyak mungkin masjid di setiap pemberhentian. Mereka menyelesaikan tantangan mereka dengan shalat di Masjid Omer Ibn el-Hattab, masjid ke-100 dan terakhir dari tantangan mereka, di Sarajevo, Bosnia.
Ketika ditanya masjid mana di Turkiye yang menjadi favoritnya, ia memberikan jawaban yang cukup mengejutkan: Bukan Ayasofya atau Suleymaniye. Bukan masjid bergaya Ottoman dengan kubah indah dan ubin biru, atau masjid klasik Anatolia Seljuk dengan tiang kayu.
Billal mengatakan bahwa masjid yang paling berkesan baginya adalah sebuah masjid sederhana di kota kecil Anatolia, Aksaray, yang bernama Kaya Camii. Masjid ini diukir di dalam gua dan dibangun dari batu puing dan batu kasar.
Di sebuah taman nasional, saat terburu-buru mencari masjid untuk shalat dzuhur dan kesulitan menemukan masjid terdekat di Google Maps, ia tiba-tiba melihat tanda di antara bebatuan yang mengarahkannya ke sebuah masjid sederhana.
“Masjid itu begitu sederhana, autentik, dan rendah hati,” kenang Billal. “Masjid itu mengingatkan saya pada Surah Ar-Rahman, yang mendorong umat beriman untuk menyadari keindahan alam.”
Karena tidak ada yang tersedia untuk mengumandangkan adzan, teman Billal, Karim, maju untuk mengumandangkannya. Kedua teman itu melaksanakan shalat bersama, kali ini dengan pohon, bebatuan, dan gunung sebagai bagian dari jamaah mereka.
“Saya tidak akan pernah melupakan masjid ini,” katanya.
Awal dari tantangan baru
Petualangan dan perjalanan spiritual Billal melalui Turkiye dan Bosnia hanyalah permulaan. Segera, ia menemukan dirinya dalam tantangan baru, dan mengunjungi masjid menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap perjalanan yang ia rencanakan.
Dalam kunjungannya ke Afrika Selatan, Billal mendapati dirinya shalat di dalam sebuah masjid di Pulau Robben, di lepas pantai Cape Town, tempat Nelson Mandela menghabiskan 18 tahun terakhir dari 27 tahun penahanannya hingga apartheid dihapuskan setelah ia terpilih sebagai presiden pada tahun 1994.
Selama setiap perjalanan, Billal menjelajahi berbagai corak budaya Islam, melaksanakan setiap shalat wajibnya secara berjamaah di masjid-masjid yang berbeda, bertemu dengan masyarakat lokal, dan merasakan cara unik mereka dalam menjalankan Islam.
“Saya menyadari bahwa ketika saya mencoba fokus pada masjid dan komunitasnya, saya bisa mengenal negara dan budayanya dengan cara yang berbeda,” ujar Billal.
Keramahan orang-orang Tajik
Di setiap negara yang ia jelajahi, Billal disambut dengan kehangatan dan keramahan oleh komunitas setempat, yang menerimanya sebagai sesama Muslim di masjid-masjid mereka.
“Ketika saya berada di masjid, ketika orang-orang melihat saya shalat, terutama karena saya sangat tinggi dan berkulit gelap, orang-orang biasanya langsung memperhatikan saya. Di masjid, orang tidak melihat saya sebagai orang dengan dolar atau sebagai turis. Mereka melihat saya sebagai salah satu dari mereka, seseorang yang shalat bersama mereka.”
Ia juga mengenang bagaimana ia menerima banyak undangan dari berbagai orang, dan ada satu undangan yang sangat berkesan baginya.
Saat berada di Tajikistan, ia bertemu dengan seorang pria bernama Jakha di sebuah masjid yang mengundangnya ke rumahnya. Tak disangka, undangan tersebut membawanya ke sebuah desa yang berjarak 40 menit dari masjid.
Menceritakan pertemuan unik tersebut, Billal mengenang, “Ketika saya tiba di desa itu, saya menyadari bahwa kehidupan di sana benar-benar berbeda, di sebuah kota kecil. Seluruh keluarga Jakha tinggal di jalan yang sama.”
“Saya pergi ke rumah Jakha, dan tetangganya bergabung dengan kami. Kami makan bersama, saling mengenal, dan bahkan tidur di rumah mereka. Saya masih berhubungan dengan dia dan keluarganya.”
‘Tantangan 100 masjid’
Tantangan 100 masjid Billal menjadi bukti ikatan persaudaraan yang melampaui kebangsaan, budaya, dan bahasa.
Ketika ditanya tentang pelajaran paling penting yang ia pelajari dari perjalanan transformasinya, Billal menjawab, “Kamu akan selalu menemukan perbedaan jika mencarinya. Tetapi begitu kamu mulai fokus pada persamaan, kamu bisa menciptakan kepercayaan, dan begitu kepercayaan tercipta, orang-orang akan lebih terbuka untuk mengundangmu ke ruang pribadi mereka, dan di sanalah tempat sebenarnya kamu akan belajar tentang budaya. Saya pikir inilah yang membuka pintu.”
Sepanjang pengalaman ini, bukan kebangsaannya atau warna kulitnya yang penting, tetapi identitasnya sebagai seorang Muslim, tambahnya.
Wawasan dan pengalaman yang diperoleh dari perjalanannya mencerminkan apa yang ia pelajari dari Al-Quran (49:13):
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”
Ia memahami bahwa menjalin hubungan dengan orang-orang dari latar belakang yang beragam memperkuat hubungannya dengan Sang Pencipta dan memenuhi perintah Al-Quran untuk saling mengenal dan menghargai satu sama lain.
“Pada tahun 2024, saya menargetkan puncak tantangan masjid saya dan akan segera membagikan detail perjalanan mendatang ini di akun Instagram saya,” tutup Billal dengan penuh semangat, menantikan puncak dari usahanya dan penemuan momen-momen tak terlupakan yang ada di depan.