DUNIA
6 menit membaca
Jerman punya masalah Islamofobia — dan ini mengancam nyawa perempuan Muslim
Ketika kejahatan kebencian terhadap Muslim meningkat, pesan ambigu negara Jerman soal hijab dan Islamofobia berisiko membungkam korban dan memperkuat pelaku.
Jerman punya masalah Islamofobia — dan ini mengancam nyawa perempuan Muslim
Perempuan Muslim di Jerman semakin menjadi sasaran di tengah meningkatnya kejahatan kebencian Islamofobia (AP). / AP
20 jam yang lalu

Ketika seorang perempuan Muslim dibunuh di Eropa, jarang sekali kasusnya menjadi berita utama. Misalnya, saya mengetahui kasus pembunuhan Rahma Ayad, seorang perawat asal Aljazair berusia 26 tahun yang tinggal dan bekerja di Jerman, bukan dari media arus utama, melainkan dari akun Instagram advokasi sosial. Pada pagi hari 4 Juli, Ayad ditikam hingga tewas oleh seorang pria Jerman yang tinggal satu gedung dengannya.

Ketika saya mencoba mencari informasi lebih lanjut, hanya TRT World dan beberapa media pan-Arab lain yang meliput kejahatan mengerikan ini. Meski kejahatannya berat, media arus utama Eropa sebagian besar mengabaikannya.

Banyak warga Arab dan Muslim yang tinggal di Eropa kini memantau dengan seksama apa langkah yang akan diambil oleh otoritas Jerman.

Akankah mereka secara terbuka mengakui bahwa pembunuhan ini bermotif rasial dan agama? Keluarga Ayad menyatakan bahwa tersangka pria berusia 31 tahun itu telah melecehkan Ayad sebelum pembunuhannya, termasuk dengan kata-kata bernada kebencian terhadap hijab dan asal-usul Arabnya.

Seperti yang sering terjadi ketika pria kulit putih melakukan pembunuhan, akankah media Barat kembali mengaitkan aksi pelaku dengan gangguan mental? Sebuah studi di AS pada 2018 menunjukkan bahwa 95 persen pelaku penembakan massal berkulit putih cenderung digambarkan secara simpatik dan disebut memiliki gangguan mental, dibandingkan dengan pelaku berkulit hitam. Seorang peserta aksi protes di dekat rumah Ayad mengatakan kepada Al Araby TV: “Kalau pelakunya Muslim dan korbannya orang Jerman, ini pasti sudah jadi berita utama di mana-mana.”

Faktanya, Jerman memiliki masalah serius dengan Islamofobia — dan ini sudah merenggut nyawa perempuan Muslim yang mengenakan hijab seperti Rahma Ayad. CLAIM, sebuah aliansi pemantau kejahatan kebencian anti-Muslim di Jerman, baru-baru ini melaporkan peningkatan insiden sebesar 60 persen, dengan rata-rata delapan kejadian setiap hari sepanjang 2024.

Bukan yang pertama

Ini bukan kali pertama seorang perempuan Muslim dibunuh di Jerman karena mengenakan hijab.

Pada 2009, Marwa El-Sherbini, perempuan Mesir berusia 31 tahun, ditikam hingga tewas di dalam ruang sidang Jerman oleh pria yang sedang ia tuntut karena menghina agamanya dan hijabnya. Di Mesir, ia dikenang sebagai “martir hijab”. Kasus ini memicu kemarahan di seluruh dunia Arab dan komunitas Muslim global karena diamnya media Eropa.

Sejak penembakan brutal oleh kelompok sayap kanan di dua bar shisha di Hanau pada 2020, yang menewaskan sembilan Muslim, insiden kebencian terhadap Muslim di Jerman terus meningkat. Pada 2022, CLAIM mencatat 898 insiden semacam itu — naik dari 732 yang dilaporkan Kementerian Dalam Negeri Jerman pada 2021. Angka ini hampir dua kali lipat menjadi 1.926 pada 2023 dan melonjak ke 3.080 pada 2024. Lonjakan tajam ini, terutama antara 2022 hingga 2024, dikaitkan dengan peristiwa 7 Oktober 2023.

Tren peningkatan ini juga sejalan dengan menguatnya partai politik sayap kanan seperti AfD, partai terbesar kedua di Jerman, yang secara terbuka menyatakan bahwa Islam adalah sesuatu yang asing di Jerman dan bahwa hijab serta niqab tidak memiliki tempat di negara itu.

Pada akhir 2023, mantan Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser, mengakui bahwa negaranya memiliki masalah dengan Islamofobia, dan menyebut bahwa satu dari dua orang di Jerman menyetujui pernyataan anti-Muslim.

Muslim Jerman mengatakan bahwa Islamofobia adalah bagian dari keseharian, dan para politisi secara terbuka menyuarakan pandangan anti-Muslim, baik di parlemen negara bagian maupun di Bundestag.

Pelaku utama penyebaran narasi ini adalah para anggota parlemen dari sayap kanan Jerman, seperti Wakil Ketua AfD sekaligus anggota Bundestag, Beatrix von Storch, yang pernah menyebut imigran Muslim sebagai “gerombolan pria barbar dan pemerkosa massal.”

Jika Islamofobia disebarkan oleh politisi terpilih, tidak heran jika pria Jerman merasa berani membunuh perempuan Muslim, dan kasus pembunuhan Ayad dilaporkan secara minim serta tidak mendapatkan simpati luas di luar komunitas Arab dan Muslim.

Hijab sebagai sasaran

Perempuan Muslim berhijab, yang paling terlihat identitas keislamannya, menjadi korban utama kejahatan kebencian anti-Muslim di Jerman. CLAIM melaporkan bahwa 71 persen insiden anti-Muslim sepanjang 2024 menyasar perempuan Muslim, khususnya yang memakai hijab.

Kejahatan kebencian terhadap Muslim di Jerman juga semakin brutal — tahun lalu, aliansi ini mencatat dua kasus pembunuhan, tiga percobaan pembunuhan atau luka serius, dan 198 kasus kekerasan fisik. Salah satu korban adalah perempuan Muslim di Berlin yang didorong ke rel kereta setelah ditanya apakah ia tergabung dalam Hamas. CLAIM menyebut otoritas Jerman seringkali mengabaikan insiden kejahatan kebencian terhadap Muslim.

Yang mengkhawatirkan, perempuan Muslim di Jerman jarang sekali diakui sebagai korban. Sebaliknya, mereka justru kerap diposisikan sebagai masalah, yang semakin mengukuhkan siklus menyalahkan korban.

Di tingkat sosial, hijab dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan sosial dan budaya homogen Jerman. Masyarakat melihat hijab bertentangan dengan nilai budaya mereka. Hijab telah menjadi simbol nyata dari sikap anti-imigran dan anti-pengungsi di negara tersebut. Dalam kasus Ayad, hijabnya menjadi penanda visual yang menjadikannya sasaran kebencian.

Di ranah hukum, posisi Jerman terhadap hijab sangat membingungkan. Sistem peradilan tampak terus berputar-putar soal pelarangan hijab, dengan hukum soal “netralitas” yang memungkinkan sebagian pemberi kerja melarang karyawannya mengenakan hijab, sementara di sisi lain, sebagian profesi negara seperti guru sudah dibolehkan memakai hijab, namun hakim masih dilarang.

Karena Jerman adalah negara federal, larangan hijab berbeda-beda di setiap negara bagian. Namun yang pasti, sejak akhir 1990-an, sudah ada banyak upaya, baik di tingkat negara bagian maupun federal, untuk melarang hijab.

Di negara yang melihat perempuan Muslim sebagai masalah, bukan korban, saya bertanya-tanya bagaimana pemerintah Jerman akan memandang pembunuhan Ayad. Apakah mereka akan melihat pelaku sebagai masalah — atau justru hijabnya?

Selama bertahun-tahun, negara-negara di Uni Eropa seperti Prancis, Belgia, Austria, Spanyol, Luksemburg, dan Jerman terus mencari berbagai alasan untuk memberlakukan larangan hijab nasional — mulai dari dalih menghapus penindasan terhadap perempuan Muslim, hingga alasan menjaga keselamatan publik.

Bukan hal yang mustahil jika suatu hari nanti negara seperti Jerman menyatakan bahwa pelarangan hijab justru demi menjaga perempuan Muslim dari kekerasan — meskipun kekerasan itu datang dari pria Jerman kulit putih.

Bagaimana pengadilan Jerman mengadili dan menjatuhkan hukuman pada pembunuh Ayad, serta bagaimana media domestik dan internasional memberitakan kasus ini, akan sangat menentukan.

Akankah pengadilan Jerman mengakui bahwa pembunuhan ini adalah bentuk tertinggi dari kejahatan kebencian anti-Muslim? Dan akankah Kanselir Friedrich Merz memberikan pernyataan tentang komitmen negaranya dalam menangani peningkatan sentimen anti-Muslim? Atau justru kematian Ayad akan dibiarkan terlupakan begitu saja, sementara politisi Jerman terus menyuarakan retorika tentang “ancaman Muslim”?

Waktu yang akan menjawab apakah keadilan akan ditegakkan — atau apakah kematian Ayad akan menjadi satu lagi angka statistik dalam krisis Islamofobia yang kian memburuk di Jerman.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us