Pada Januari lalu, keluarga-keluarga dari Gaza utara—wilayah yang paling hancur akibat berbulan-bulan serangan Israel—diizinkan kembali ke lingkungan mereka untuk pertama kalinya.
Di Beit Lahia, Beit Hanoun, hingga Gaza City, warga berjalan hati-hati melewati tumpukan beton hancur dan logam yang bengkok.
Rumah-rumah rata dengan tanah. PBB mencatat 92 persen bangunan telah hancur. Jaringan air dan listrik lumpuh, sekolah serta klinik tak lagi berfungsi.
Namun meski porak-poranda, ribuan orang tetap kembali. Reruntuhan itu, setidaknya, adalah milik mereka.
“Rasanya seperti kembali dari pengasingan,” kata seorang warga kala itu. “Bahkan seperti kembali dari kematian.” Para ibu mengais foto dan pakaian di balik puing, sementara anak-anak menelusuri lorong-lorong runtuh yang sudah mereka hafal sejak kecil. Sejenak, kepulangan itu menjadi cara bertahan hidup.
Namun, jeda rapuh itu hanya bertahan enam bulan.
Pada 7 Agustus, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan eskalasi besar dalam tujuan militer Israel. Usai rapat Kabinet Keamanan Negara, Netanyahu menyatakan Israel akan membangun “kendali keamanan penuh” atas Gaza City, termasuk memindahkan penduduknya ke “zona kemanusiaan” yang ditentukan di selatan.
Pengumuman ini, yang langsung dikecam PBB dan kelompok HAM, dipandang banyak warga Palestina sebagai awal dari pengusiran massal.
Bagi mereka yang baru saja kembali ke rumah yang hancur di utara, deklarasi itu menjadi pukulan baru—pengingat bahwa keberadaan mereka di Gaza City tetap rapuh, dan pengusiran bisa datang kapan saja.
Lima kali terusir, satu rumah hancur
Mohammad Awad, 38 tahun, tinggal di Tal el-Hawa, Gaza utara. Rumah dan lingkungannya hancur dalam serangan Januari, bagian dari penghancuran besar Israel di Gaza utara yang membuat puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal.
Membangun kembali mustahil: air, listrik, dan layanan medis tetap terputus, bantuan kemanusiaan pun sangat terbatas.
Awad kini tinggal di satu-satunya ruangan yang tersisa di rumah keluarganya. Ia telah mengungsi lima kali di dalam Gaza. Saat bicara, suaranya pecah seperti reruntuhan baru.
“Setiap kali kami mengungsi, saya bilang pada diri sendiri: ini yang terakhir. Tapi pengusiran di sini seperti penyakit kronis—selalu kembali saat kita merasa sudah sembuh.”
Ia sudah tak tahu bagaimana bersiap lagi. Tidak ada bahan bakar, kendaraan, bahkan tenaga untuk membawa sisa barang: beberapa selimut, bantal, dan nyawa anak-anaknya, yang kini lebih takut melangkah di jalan daripada terbang di udara.
Ditanya apakah ia akan meninggalkan Gaza kali ini, ia lama terdiam sebelum menjawab: “Meninggalkan Gaza berarti mengkhianati ayah saya yang dimakamkan di sini. Tapi tinggal juga ancaman bagi anak-anak saya. Mana yang harus saya pilih? Jujur, saya belum memutuskan.”
Malam-malamnya tak memberi istirahat. Haruskah ia kembali berjalan kaki? Bagaimana membawa keluarganya? Bagaimana meyakinkan anak-anaknya bahwa selatan bukan sekadar kuburan lain?
Ketakutannya berakar pada ancaman nyata.
Rencana Israel untuk memindahkan hampir 900 ribu orang dari Gaza utara ke selatan akan mendorong keluarga-keluarga menuju Rafah dan Khan Younis, yang sudah lebih dulu hancur akibat serangan sebelumnya.
Dengan infrastruktur yang runtuh, badan-badan bantuan memperingatkan tentang kepadatan tak tertahankan, sanitasi yang kolaps, dan krisis pangan yang makin parah hingga membuat puluhan ribu orang kekurangan gizi.
Bagi Awad, ancaman ini bukan sekadar berita. “Mereka ingin kami terbiasa menganggap pengusiran itu normal. Tapi tak ada yang normal. Setiap kali kami dicabut dari tanah, ada sesuatu yang pecah dan tak pernah pulih.”
Saat Awad bergulat dengan pilihan mustahil antara bertahan atau mengungsi, warga Palestina lain menghadapi dilema serupa—masing-masing diperberat oleh kehilangan masa lalu dan ancaman kehancuran yang terus berlanjut.
Tanah yang hancur
Amina Al-Hawajri, 32 tahun, seorang ibu lima anak dari Darag, Gaza utara, memilih tetap tinggal saat pengusiran sebelumnya demi menyaksikan kehancuran lingkungannya, yang luluh lantak dihantam serangan Israel. Daerah sekitar, termasuk Beit Lahia dan Beit Hanoun, menyaksikan puluhan ribu orang terusir dan bangunan rata dengan tanah.
Ketika ditanya mengapa bertahan, ia menjawab tegas: “Karena pengusiran itu kematian lain. Saya memilih satu kematian.”
Kini, usai pernyataan Netanyahu dan para menterinya, ia kembali dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Haruskah pergi, dan kalau iya, ke mana?
“Seluruh Gaza hancur,” katanya. “Lebih dari tujuh puluh persen bangunan hilang. Jalan-jalan musnah. Apa lagi yang tersisa untuk dihancurkan? Tidak ada lagi selain manusia Palestina, dan mereka ingin mencabut kami setiap saat.”
Bagi Al-Hawajri, pengusiran tak masuk akal. Anaknya tidur di antara pecahan kaca dan kenangan ledakan, namun ia bersikeras tetap tinggal.
“Saya tidak akan pergi. Saya tidak akan mengulang pemandangan perempuan yang memanggul sisa perabot di punggung. Saya tidak akan memberi anak-anak saya gambaran lain tentang kekalahan.”
Namun saat ditanya apakah ia takut, suaranya melembut: “Saya tidak takut untuk diri saya. Saya takut anak-anak saya tumbuh tanpa kota, tanpa rumah, tanpa tanah air,” ujarnya lirih.
Pengalaman Al-Hawajri bergema di seluruh Gaza utara, di mana keluarga-keluarga menghadapi malnutrisi parah, kelaparan, dan terbatasnya akses bantuan, terutama sejak Israel memblokir masuknya pasokan pada Maret.
“Saya seorang ibu dari lima anak, tidur bersama mereka di antara dinding yang hancur, memberi makan ketakutan alih-alih makanan. Kelaparan telah menggerogoti tulang kami, tubuh kami rapuh.”
Saat ia menyaksikan lenyapnya kotanya dari dalam, warga lain terusir ke kamp-kamp yang menghidupkan kembali bayang-bayang tragedi masa lalu, mengaitkan ketakutan hari ini dengan ingatan kolektif tahun 1948.
Seorang ayah berduka di tenda
Khalil Abdelhadi, 45 tahun, tinggal di tenda di kamp Al-Shati, didirikan di atas reruntuhan rumahnya.
Al-Shati didirikan pada 1948 untuk menampung warga Palestina yang terusir saat Nakba, dan sejak itu menjadi salah satu wilayah terpadat di Gaza.
Selama puluhan tahun, kamp ini menanggung pengepungan, kepadatan, hingga bombardir berulang—menjadikannya simbol trauma pengusiran yang tak kunjung selesai. Kini, hampir tak ada yang tersisa, lingkungannya hancur akibat serangan udara Israel.
Saat evakuasi massal pertama akhir 2024, Abdelhadi melarikan diri dari Al-Shati bersama keluarganya, dipaksa berjalan ke selatan di bawah bombardir.
Di Jalan Al-Rashid, barat Gaza City, anaknya tewas dalam serangan udara Israel. “Saya meninggalkannya di sana. Saya tidak bisa membawanya. Tidak bisa menguburnya. Bom turun seperti api neraka. Kami lari. Anak saya berhenti berlari bersama kami.” Saat ia bercerita, suaranya tak lagi terdengar seperti manusia hidup.
Sejak itu, katanya, ia hidup “hanya dengan sepertiga hati”. Kini, ancaman pengusiran baru kembali membangkitkan trauma.
Akankah ia mengungsi lagi? Abdelhadi menggeleng. “Saya sudah terusir sekali, dan saya kehilangan anak. Apa lagi yang bisa hilang? Pengusiran adalah kematian. Tinggal juga kematian. Tapi setidaknya jika saya tinggal, saya mati di tanah saya.”
Al-Shati sendiri menjadi pengingat Nakba; keluarga yang mencari perlindungan di sana pada 1948 kini mengalami siklus kehancuran dan pengusiran lintas generasi.
Kini, pola serupa kembali: bombardir, pemindahan paksa, krisis kemanusiaan—sejarah yang berulang dengan rasa sakit yang sama.
Ditambah kelaparan yang direkayasa: lebih dari 320 ribu anak—seluruh populasi balita Gaza—terancam malnutrisi akut. Bantuan yang masuk hanya setetes dibandingkan kebutuhan dua juta lebih warga. Sekadar memenuhi kebutuhan pangan dasar, Gaza memerlukan 62 ribu ton bantuan setiap bulan.
Dalam kelaparan yang ia alami sendiri, Abdelhadi ragu keluarganya sanggup berjalan 20 kilometer jika kembali dipaksa pergi.
“Hunger has exhausted us all,” katanya.
Saat Abdelhadi dan banyak lainnya bergulat dengan bertahan hidup sehari-hari, pertanyaan lebih besar muncul: ancaman pengusiran massal bukan hanya bencana kemanusiaan, tetapi juga pelanggaran hukum internasional.
Pengusiran paksa
Kehancuran di Gaza bukan kebetulan, melainkan bagian dari strategi yang terukur, mencerminkan pola sejarah. Siklus pengusiran berulang ini erat kaitannya dengan serangan militer Israel dan rekayasa demografi jangka panjang.
Awad berkata: “Jika seluruh Gaza jadi abu, berarti kami kehilangan ingatan. Tak ada jalan yang bisa diingat, tak ada tempat yang bisa dihidupkan kembali dalam cerita. Eskalasi perang ini akan jadi lonceng keberangkatan. Saya takut pengusiran paksa dimulai segera.”
Pakar hukum memperingatkan bahwa pengusiran massal dapat melanggar hukum humaniter internasional. “Peningkatan perintah evakuasi Israel di Gaza mengarah pada pemindahan paksa warga Palestina, yang bisa jadi merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional,” tulis salah satu laporan PBB.
Terlepas dari hukum, warga Palestina tahu bahwa pengusiran bukan sekadar perpindahan dari utara ke selatan. Itu adalah perjalanan dari satu kehidupan rapuh ke kehidupan rapuh lain. Perjalanan dari kematian menuju kematian.
Sejarah diulang di sini, tetapi dengan keberanian yang lebih terang-terangan: pendudukan disebut “kendali keamanan penuh”, pengusiran disebut “langkah kemanusiaan”, kematian disebut “kesalahan tragis”.
Orang-orang tahu ini hanya pengulangan Nakba, namun dengan alat abad ke-21: pesawat menggantikan senapan, data pemerintah menggantikan selebaran kertas. Esensinya tetap sama: mencabut warga Palestina dari tanahnya, menghapus ingatan, dan mengubah hidup menjadi siklus ketakutan dan bertahan hidup.
Disclaimer: Tidak ada narasumber dalam laporan ini yang bersedia difoto, mereka menolak diwakili oleh gambar penderitaan mereka.