BISNIS DAN TEKNOLOGI
3 menit membaca
Ancaman tarif AS pada barang transit terhadap eksportir Asia Tenggara
Ketergantungan rantai pasok yang dalam dengan produsen China menjadikan kawasan Asia Tenggara rentan terhadap kebijakan tarif yang lebih ketat dan pengawasan asal barang yang lebih ketat oleh AS.
Ancaman tarif AS pada barang transit terhadap eksportir Asia Tenggara
Terminal Kontainer Internasional Jakarta (JICT) di Pelabuhan Tanjung Priok menjadi fasilitas utama bongkar muat kontainer pengiriman. / AP
15 jam yang lalu

Negara-negara Asia Tenggara menghadapi risiko serius akibat ancaman tarif 40 persen dari Amerika Serikat terhadap barang yang dikirim transit. Kebijakan ini menargetkan barang yang menggunakan komponen China meski diproduksi di negara lain, termasuk di Asia Tenggara, yang sangat bergantung pada rantai pasok terintegrasi dengan China.

Peraturan ini akan mengenakan tarif tinggi pada barang yang dianggap menghindari tarif bea masuk AS dengan memindahkan asal barang, tanpa opsi pengurangan denda. Namun, belum ada pedoman jelas dari Bea Cukai AS terkait definisi transshipment, sehingga perusahaan harus melakukan pengawasan ketat pada rantai pasok mereka.

Dampaknya terhadap sektor elektronik, komputer, smartphone, dan konsol permainan video yang banyak mengandalkan komponen China, sangat rentan. Ekonom utama Priyanka Kishore memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa melemahkan peran Asia Tenggara sebagai pusat manufaktur alternatif di tengah strategi “China Plus One”.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa klausul asal barang Indonesia dengan AS hampir serupa dengan Vietnam, tetapi menegaskan tidak ada praktik transshipment di Indonesia. Pembahasan lebih lanjut masih berlangsung terkait aturan asal barang dan peran pemasok pihak ketiga dalam memenuhi syarat tarif rendah.

Vietnam telah menyetujui tarif ini, sementara Indonesia menolak dan masih membahas aturan asal barang dengan AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, menegaskan, “Tidak ada transshipment di Indonesia,” meskipun klausul asal barang Indonesia hampir sama dengan Vietnam. Ia menambahkan, “Kita perlu menyepakati cakupan, sejauh mana dan seberapa luas keterlibatan pemasok pihak ketiga dapat dilakukan,” yang masih dalam pembahasan dengan AS.

Peneliti CORE Yusuf Rendi Manilet, seperti yang dilaporkan oleh Jakarta Post memprediksi ekspor Indonesia ke AS bisa turun US$9,2 miliar akibat tarif timbal balik dan kebijakan ini, dengan dampak terbesar pada sektor garmen $2,1 miliar, barang manufaktur lainnya $1,5 miliar, dan produk kulit $1,3 miliar. Lebih dari setengah rantai pasok elektronik Indonesia terkait langsung dengan produsen China, menjadikan sektor ini sangat rentan terhadap aturan transshipment yang ketat.

Upaya ASEAN menghadapi proteksionisme

Secara regional, Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA) telah menghapus tarif pada 98,6 persen perdagangan intra-blok sejak 1992 dan kini diperbarui untuk melonggarkan lebih banyak tarif serta menambahkan mekanisme penyelesaian sengketa. ASEAN juga meluncurkan alat penelusuran tarif real-time untuk membantu perusahaan beradaptasi dengan perubahan cepat di pasar global.

Wakil Sekretaris Jenderal Komunitas Ekonomi ASEAN Satvinder Singh menegaskan, “Langkah tarif tak terduga dari AS menciptakan ketidakpastian besar bagi bisnis kami, sehingga ASEAN bekerja keras memperkuat daya saing kawasan.”

Ketegangan perdagangan antara AS dan China yang meluas ke pengaturan tarif transit menimbulkan risiko besar bagi negara-negara eksportir Asia Tenggara. Ketergantungan rantai pasok yang dalam dengan produsen China menjadikan kawasan ini rentan terhadap kebijakan tarif yang lebih ketat dan pengawasan asal barang yang lebih ketat oleh AS.

SUMBER:TRT Indonesia & Agensi
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us