Indonesia berencana membangun jaringan kilang modular kecil untuk mengolah minyak mentah asal Amerika Serikat dan minyak domestik. Proyek ini dimaksudkan untuk menekan impor bensin sekaligus memenuhi komitmen negara terhadap peningkatan pasokan energi dari AS.
Kilang modular merupakan unit kilang prefabrikasi yang dapat dibangun lebih cepat dan murah dibandingkan fasilitas tradisional. Langkah ini dinilai pemerintah sebagai cara cepat memenuhi kebutuhan domestik, meski analis mengingatkan bahwa strategi tersebut berlawanan dengan tren global pembangunan kilang skala besar yang memaksimalkan efisiensi ekonomi.
Rencana kilang modular dan kontrak senilai $8 miliar
Menurut laporan Reuters, dana kekayaan negara Indonesia, Danantara, berencana menandatangani kontrak senilai $8 miliar dengan perusahaan teknik asal AS, KBR Inc, untuk membangun 17 kilang modular. CEO Danantara, Rosan Roeslani, mengatakan kepada wartawan, “Kami akan mengimpor minyak mentah ke Indonesia dan itu membutuhkan kilang yang sesuai dengan karakteristik minyak AS, sehingga kami melakukan investasi sesuai kebutuhan.”
Wakil Menteri Energi, Yuliot Tanjung, menambahkan, “Kilang-kilang ini akan ditempatkan dekat dengan pusat produksi minyak. Studi awal untuk infrastruktur modular dan fasilitas penyimpanan sudah dilakukan di Natuna, Surabaya, Halmahera Utara, dan Fakfak.”
Analisis kelayakan dan risiko ekonomi
Meski pembangunan kilang modular menawarkan solusi cepat, analis menyoroti tantangan Indonesia dalam memperluas kapasitas kilang. Pertamina berencana menginvestasikan $48 miliar untuk memperbarui enam kilang dan membangun kompleks kilang-petrokimia besar guna menggandakan produksi menjadi 1,5 juta barel per hari. Namun, sejumlah kerja sama internasional batal karena perbedaan valuasi proyek.
“Pembangunan 17 kilang ini cukup ambisius mengingat rencana RDMP juga sedang berlangsung,” kata Pankaj Srivastava, Senior Vice President Rystad Energy.
Kilang modular dapat selesai dalam waktu kurang dari setengah periode pembangunan kilang besar dan biayanya lebih rendah, sehingga membantu mengurangi ketergantungan impor. Namun, kapasitas kecil dan minimnya fasilitas pemurnian membatasi skala ekonomi serta tidak mendukung ekspansi kapasitas petrokimia Indonesia, kata Adi Imsirovic, Direktur Surrey Clean Energy.
June Goh, analis senior di Sparta Commodities, menambahkan, “Keterbatasan terminal akan memaksa penggunaan kapal lebih kecil untuk impor minyak, yang bisa meningkatkan biaya. Jika tidak ada fleksibilitas crude dalam proyek kilang modular, Indonesia akan sangat terekspos pada harga minyak AS.”
Dengan rencana ini, pemerintah berharap kebutuhan bahan bakar domestik dapat terpenuhi lebih cepat sambil tetap menjaga strategi energi nasional dan hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat.