Pada 1 Agustus, salah satu superstar paling populer Bollywood, Shah Rukh Khan, dinobatkan sebagai aktor terbaik di National Film Awards, penghargaan tertinggi negara untuk perfilman di India.
Aktor berusia 59 tahun yang dikenal luas dengan sebutan SRK ini meraih penghargaan tersebut setelah 33 tahun berkarya di industri film, berkat aktingnya dalam Jawan, film laga penuh aksi di mana ia memerankan dua karakter.
National Film Awards diselenggarakan setiap tahun oleh pemerintah India. Mencakup kategori akting, penyutradaraan, musik, hingga produksi, penghargaan ini dianggap sebagai puncak pengakuan resmi dalam dunia perfilman India.
Selama puluhan tahun, SRK menempati posisi istimewa dalam budaya populer India: seorang bintang Muslim di jantung imajinasi nasional yang pesonanya melampaui batas agama, kasta, kelas, dan wilayah. Di negara yang sangat terbelah, kesuksesannya kerap dibaca sebagai simbol harapan akan keberagaman sekuler.
Bagi Sukriti R. S. Justin, 31 tahun, penggemar asal Mumbai yang telah hampir satu dekade bekerja di industri film, pengakuan ini terasa “pribadi.”
“Ia aktor dengan bakat dan dedikasi luar biasa. Saya sangat mengagumi perjalanan dan kemampuannya,” ujarnya kepada TRT World.
“Entah itu adegan berlari menuju kamera, pose tangan terbuka yang ikonik, atau adegan close-up ketika matanya bercerita, ia selalu mampu membangkitkan emosi. Ia bukan sekadar aktor, tapi ikon,” katanya.
Bagi Noor Fatima, penggemar dari kota Lucknow, keberhasilan SRK adalah cerminan impian banyak penggemar Muslim.
“SRK tidak pernah ragu menyuarakan identitas agamanya dan banyak penggemarnya menjadikannya panutan. Mereka juga ingin mengejar mimpi tanpa harus mengorbankan keyakinannya,” ujarnya kepada TRT World.
Sentimen anti-artis Muslim
Penghargaan ini datang di tengah dekade sentimen negatif terhadap identitas Muslim, termasuk terhadap tiga Khan Bollywood — Shah Rukh Khan, Salman Khan, dan Aamir Khan — oleh kubu nasionalis Hindu. Bagi banyak penggemarnya, pengakuan ini terasa sekaligus membanggakan dan memunculkan kegelisahan.
Ketiganya mendominasi industri film berkat keberagaman peran dan kemampuannya menciptakan aura di layar lebar, serta populer di kancah global ketika ekonomi India mulai tumbuh. Namun, popularitas itu juga diiringi kontroversi.
Pada 2015, SRK dicap “anti-nasional” setelah berbicara soal intoleransi di India. Pada 2021, putranya, Aryan Khan, ditangkap atas tuduhan narkoba yang kemudian dibatalkan — kasus yang dinilai sebagian pihak bermotif politik. Bahkan Jawan sempat menghadapi seruan boikot sehari sebelum rilis.
Tokoh politik kanan, termasuk Kepala Menteri Uttar Pradesh Yogi Adityanath, pernah menyuruh SRK “pergi ke Pakistan” dan membandingkannya dengan Hafiz Saeed, tersangka serangan teror Mumbai 2008 — mencerminkan permusuhan nasionalis Hindu yang dibantah BJP.
Film-film mereka pun tak luput dari boikot — dari Pathaan milik SRK, Laal Singh Chaddha karya Aamir, hingga Bajrangi Bhaijaan milik Salman — kerap diprotes karena dianggap menyinggung sentimen Hindu atau berbau “pro-Pakistan.”
Kasus serupa dialami Aamir Khan pada 2015 ketika ia dihujani kritik dan boikot merek setelah menyampaikan kekhawatiran soal intoleransi. Salman Khan juga diserang karena mendukung artis Pakistan dan mempertahankan hubungan dengan rekan Muslim di tengah ketegangan India–Pakistan.
Bagi pengamat politik komunal India, kondisi ini menimbulkan pertanyaan:
Apa artinya bagi seorang megabintang Muslim dirayakan di negara di mana warga Muslim menghadapi penggusuran, penahanan, persekusi, hingga penghapusan sistematis?
Ketika Jawan dirilis, sebagian penggemar dan kritikus menilai film itu memuat perlawanan halus terhadap narasi politik dominan India.
“Itu kombinasi antara perlawanan halus dan penyesuaian dengan iklim politik saat ini, sesuai citra bintangnya,” kata seorang kritikus film asal Kolkata kepada TRT World secara anonim.
Ia menilai SRK berusaha tetap menampilkan identitas Islamnya “sejauh yang diizinkan konstitusi sekuler India,” baik di layar maupun di publik — dari menyebut nama Allah di wawancara hingga memerankan tokoh Muslim, termasuk yang mengalami diskriminasi agama di Chak De India.
Namun ia juga menyebut kemenangan ini “tidak lebih dari tokenisme.”
“Yang penting adalah bagaimana pemerintah di Delhi memperlakukan minoritas di lapangan. Selebihnya hanyalah pencitraan,” ujarnya.
Waseem Ahad, peneliti yang fokus pada sinema populer dan identitas Muslim, menegaskan penghargaan ini tak bisa dilepaskan dari identitas agama SRK dan iklim politik saat ini.
“Selama lebih dari satu dekade, suasana di India sangat bermusuhan terhadap Muslim; secara hukum, politik, maupun budaya — dan para bintang Muslim terbesar, termasuk tiga Khan, menghindari pernyataan publik yang keras soal komunitasnya,” ujarnya kepada TRT World.
Ia menambahkan, “Identitas Muslim mereka sudah lama menjadi beban di pasar mayoritas Hindu, sehingga mereka berusaha meredamnya tanpa menyinggung mayoritas.”
Menurutnya, negara, baik BJP maupun partai lain, bisa menampilkan mereka sebagai “ikon” saat dibutuhkan, atau mencap mereka “pro-Pakistan” atau “jihadis” ketika menguntungkan. “Di lain waktu, mereka dijadikan simbol keberagaman sekuler India, terutama untuk audiens Muslim di luar negeri… semuanya soal citra,” ujarnya.
Sementara Ahad menyoroti simbolisme bintang Muslim, analis lain melihat dinamika kekuasaan antara Bollywood dan negara. Mereka berpendapat hubungan ini lebih tentang pengelolaan merek budaya dalam ekonomi politik India.
Menurut analis politik Asim Ali, BJP di bawah Modi berupaya mendominasi dengan mengkooptasi atau menaklukkan setiap institusi besar. Bollywood, meski berpengaruh secara budaya, beroperasi dalam jejaring finansial dan politik yang mudah dikendalikan negara.
“SRK lebih tepat dilihat sebagai sebuah merek dengan hubungan transaksional dengan negara,” kata Ali kepada TRT World. “BJP bisa sewaktu-waktu menaikkan biaya ketidakpatuhan bagi ‘Brand SRK’, biaya yang lebih tinggi lagi bagi bintang Muslim. Partai ini punya kapasitas untuk menghancurkan merek tersebut.”
Ali menilai SRK tidak menjadi ancaman bagi BJP karena basis penonton utamanya, kelas menengah India, sebagian besar pro-pemerintah, sehingga partai berkuasa memegang kendali penuh.
Perubahan arah Bollywood
Dalam satu dekade terakhir, Bollywood mengalami pergeseran besar menuju film-film nasionalistik yang mengedepankan militer India, tokoh sejarah Hindu, dan tema-tema yang sejalan dengan agenda budaya BJP.
Film seperti Uri: The Surgical Strike, The Kashmir Files, dan The Kerala Story (yang juga menang penghargaan nasional tahun ini) dipuji partai berkuasa, sementara karya yang lebih kritis kerap menghadapi seruan boikot.
National Film Awards, yang dulu dianggap tolok ukur keunggulan artistik, dalam beberapa tahun terakhir dituding mengikuti arus politik dan lebih banyak memberi penghargaan pada film yang memperkuat narasi dominan, sambil menyingkirkan karya yang mempertanyakannya.
Kritikus juga menyoroti ironi bahwa juri yang memberi penghargaan kepada Shah Rukh Khan juga menganugerahkan The Kerala Story — film yang banyak dikritik karena mempromosikan stereotip Islamofobia.
Film tersebut menggambarkan perempuan Hindu yang diduga dipaksa masuk Islam dan bergabung dengan kelompok teroris Daesh, bagian dari narasi politik yang berulang kali dipertanyakan dan dibuktikan berlebihan.
Bagi mereka, merayakan seorang megabintang Muslim sekaligus memuliakan film yang dianggap merendahkan Muslim bukanlah tanda keseimbangan, melainkan contoh bagaimana negara menggunakan budaya secara selektif — memberi penghargaan pada simbol yang cocok dengan momen politiknya, meski simbol-simbol itu berlawanan tajam.
“Kita harus berhati-hati untuk tidak mengacaukan visibilitas seorang bintang Muslim dengan kekuasaan nyata, representasi, atau perlawanan,” kata Sabika Abbas, penyair dan aktivis HAM.
“Terutama ketika negara yang sama memberinya penghargaan juga turut menyebarkan propaganda Islamofobia seperti The Kerala Story,” ujarnya kepada TRT World.