Fase konflik yang memuncak antara India dan China terjadi pada tahun 2020, ketika ribuan pasukan perbatasan dari kedua negara terlibat bentrokan di wilayah sengketa di Himalaya. Puluhan tentara dari kedua belah pihak tewas dalam insiden tersebut. Setelah itu, kedua negara meningkatkan kehadiran militer di wilayah tersebut, menghentikan penerbangan langsung, dan beberapa produk dari China serta India menjadi sasaran boikot.
Namun, ketegangan ini secara tak terduga mulai mereda. Pada bulan Agustus, kedua negara kembali membuka jalur penerbangan langsung, menyepakati penyederhanaan aturan visa, dan memulihkan perdagangan lintas perbatasan. “China dan India seharusnya menjadi mitra, bukan musuh,” ujar Menteri Luar Negeri China, Wang Yi.
Pendekatan ini bertepatan dengan krisis dalam hubungan India dan Amerika Serikat. Donald Trump memberlakukan tarif 50 persen pada produk India, sambil mendesak New Delhi untuk menghentikan pembelian minyak Rusia.
Hal yang lebih memicu ketegangan adalah pernyataan Gedung Putih tentang niatnya untuk mempererat hubungan dengan Pakistan. Surat kabar Jerman FAZ melaporkan bahwa dalam beberapa minggu terakhir, Trump telah menelepon New Delhi sebanyak empat kali, tetapi panggilan tersebut tidak direspons: “Ada tanda-tanda bahwa Modi merasa tersinggung.”
Di tengah ketegangan dengan Washington, Modi untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun akan mengunjungi China. Pada 31 Agustus, ia akan menghadiri KTT para pemimpin Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO). Presiden Rusia Vladimir Putin juga akan hadir dalam pertemuan tersebut.
Para ahli mencatat bahwa Presiden China Xi Jinping berniat menggunakan KTT ini untuk menunjukkan “awal dari tatanan dunia pasca-Amerika” dan membuktikan bahwa upaya Gedung Putih untuk menahan China, Rusia, Iran, dan India tidak berhasil. Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa SCO kini menjadi “kekuatan penting dalam membentuk jenis hubungan internasional baru.”
SCO vs AS
Peningkatan hubungan antara China dan India dianggap sebagai respons terhadap tindakan Amerika Serikat, ujar Direktur Institut Negara-Negara Asia dan Afrika di Universitas Negeri Moskow, Alexey Maslov, kepada TRT Rusia. Kedua negara menghadapi tekanan eksternal dan mulai mencari titik temu.
“Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, dialog konstruktif kembali terjalin: kunjungan Menteri Luar Negeri India ke Beijing dan pembicaraan dengan Wang Yi menjadi pertanda pertemuan mendatang antara Modi dan Xi Jinping di sela-sela KTT SCO. Fakta bahwa pertemuan ini terjadi saja sudah merupakan langkah simbolis,” jelas Maslov.
Maslov menekankan bahwa pendekatan antara India dan China bukanlah “melawan AS,” melainkan sebagai respons terhadap ketidakstabilan yang diciptakan oleh tindakan Washington. Hal ini mendorong kedua negara untuk membahas isu-isu konkret.
“China, misalnya, sangat khawatir dengan risiko pemblokiran transaksi melalui sistem SWIFT. India juga mempertimbangkan langkah-langkah yang diambil terhadap Rusia dan China, sehingga kedua negara berupaya membangun sistem kerja sama yang tidak hanya melindungi bisnis tetapi juga mencakup keamanan siber dan bidang lainnya,” jelasnya.
Namun, Maslov berpendapat bahwa deklarasi bilateral tidak akan segera terjadi—platform kerja sama masih dalam tahap pembentukan. Namun, dalam waktu dekat, dapat diperkirakan adanya peningkatan kunjungan bilateral dan perkembangan lebih lanjut dalam hubungan kedua negara.
Sementara itu, pakar politik Nandan Unnikrishnan melihat pendekatan antara India dan China sebagai proses independen yang tidak terkait dengan perang dagang AS. Menurutnya, ini bukan tentang “perjanjian persahabatan abadi,” melainkan stabilisasi hubungan secara pragmatis.
“India dan China ingin membuat hubungan mereka lebih dapat diprediksi dan menghilangkan kejutan yang menghambat perkembangan domestik dan menciptakan risiko di bidang keamanan,” ujarnya dalam wawancara dengan TRT Rusia.
Ia juga memperingatkan agar tidak mengartikan kerja sama antara Rusia, India, dan China sebagai blok melawan AS. “Saat ini banyak yang membicarakan prospek dunia multipolar, terutama mengingat kehadiran Rusia di KTT ini. Namun, negara-negara ini tidak bertujuan untuk berkonfrontasi dengan AS. Sebaliknya, mereka mencari cara untuk mengurangi tekanan sanksi, menyeimbangkan politik global, dan menciptakan arsitektur hubungan internasional yang lebih stabil.”
Namun demikian, menurutnya, India berbagi aspirasi dengan China dan Rusia untuk dunia multipolar tanpa hegemoni. Meski begitu, dunia masih jauh dari multipolaritas sejati: “Saat ini dunia sedang mengalami masa transisi, dan pada masa ini, kekuatan besar sangat tertarik pada hubungan yang dapat diprediksi dan stabil satu sama lain—tanpa kejutan yang menghambat perkembangan domestik dan menciptakan risiko di bidang keamanan.”