DUNIA
5 menit membaca
Gaza hari ini tak ubahnya seperti kamp konsentrasi Nazi
"Aku tahu betapa beratnya kata-kata ini. Aku tidak menuliskannya sembarangan. Aku menuliskannya karena aku lelah dengan kata-kata yang dibungkus-bungkus. Lelah pura-pura menyebut ini sebagai konflik, padahal jelas-jelas sebuah pembantaian."
Gaza hari ini tak ubahnya seperti kamp konsentrasi Nazi
Tanpa jalur aman, tanpa makanan, tanpa air, dan tanpa keringanan hukuman dari bom, Gaza saat ini mencerminkan logika dan penderitaan kamp konsentrasi. / Reuters
25 April 2025

Sulit menjelaskan perasaan melihat tanah air sendiri menyusut menjadi sebuah kurungan. Mengetahui bahwa keluargamu masih terjebak di dalamnya—berdesakan di sudut pengap dari tempat yang bahkan sebelumnya sudah menjadi salah satu wilayah terpadat di dunia.

Mendengar suara ibumu bergetar saat ia berkata bahwa mereka tak punya lagi tempat untuk pergi. Tidak ke utara. Tidak ke selatan. Tidak ke timur. Bahkan tidak ke laut, karena laut kini hanya membawa dengung kapal perang dan gema ledakan. Inilah Gaza sekarang: wilayah yang berubah menjadi perangkap.

Dalam beberapa bulan terakhir, hampir dua juta warga Palestina telah didesak ke sebidang tanah yang bahkan sebelumnya sudah merupakan serpihan. Gaza hanya seluas 365 kilometer persegi. Artinya, lebih dari 2,3 juta orang dijejalkan ke wilayah tak lebih dari 120 kilometer persegi. Itu berarti kepadatan penduduk hampir 20.000 jiwa per kilometer persegi—lebih dari sepuluh kali lipat kepadatan London, lebih padat dari kota besar mana pun di dunia.

Sekolah telah berubah menjadi tempat tidur bersama, lantai-lantai dibagi dengan orang asing, dan roti telah menjadi kenangan. Tak ada lagi tenda. Tak ada air bersih. Tak ada makanan. Dan tak ada keheningan.

Saat aku menelepon keluargaku di Gaza—mereka yang selamat dari serangan udara Israel terakhir—yang kudengar hanyalah kekacauan: tangis bayi, dentuman ledakan di kejauhan, dan bunyi denting panci kosong.

Keponakanku memberitahuku bahwa kini ia berbagi lantai dengan sebelas orang lainnya di sebuah sekolah yang tak pernah dimaksudkan untuk ditinggali. Sepupuku, seorang ayah dari empat anak, mengirimiku pesan minggu lalu: “Kami antre dua jam untuk sepotong roti basi. Kami minum air dari genangan. Israel membuat kami kelaparan, lalu mengebom kami lagi.”

Tidak ada yang dilebih-lebihkan di sini. Tak perlu metafora. Inilah yang kami maksud ketika menyebutnya “kamp konsentrasi.”

Ya, saya memang menggunakan kata-kata itu—karena apalagi yang bisa kita sebut ketika seluruh populasi digiring ke ruang yang makin menyempit, dijauhkan dari makanan, air, dan obat-obatan, lalu dibombardir tanpa jalan keluar atau jeda? Ini bukan sekadar perang. Apa lagi namanya jika suatu negara merancang sistem yang bukan hanya untuk mengontrol, tetapi juga secara sengaja, sistematis, dan terencana menahan dan memusnahkan?

Secara historis, banyak orang enggan menggunakan istilah itu, demi menghormati horor Holocaust. Tapi jika kita benar-benar ingin menghormati sejarah, kita harus belajar darinya.

Di Jerman Nazi, kamp-kamp konsentrasi seperti Sachsenhausen dan Dachau dibangun untuk mengisolasi, mengontrol, dan pada akhirnya menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap tidak diinginkan oleh rezim.

Gaza hari ini lebih padat daripada Dachau pada masa tersesaknya. Namun, para penghuninya tetap terjebak dalam penjara terbuka, yang dindingnya terbuat dari sejarah dan ketidakpedulian.

Logika struktural yang serupa dengan kamp konsentrasi

Kepadatan berlebihan: Auschwitz, pada saat terpadatnya, memaksa 1.200 orang tinggal di barak yang dibangun hanya untuk 700. Koridor selatan Gaza kini menampung hampir dua juta orang di wilayah yang bahkan tak pernah dirancang untuk menopang kepadatan seperti itu. Ini adalah tempat dengan tekanan tak henti-hentinya.

Tempat berlindung: Di Auschwitz, para tahanan tidur di atas jerami—berjejer rapat, bahu menyentuh bahu. Di Gaza, mereka yang cukup beruntung mendapatkan tenda tidur di atas tanah. Yang lain berbaring di bawah terpal plastik, atau langsung di bawah langit terbuka. Tak ada ruang pribadi. Perempuan menyusui bayi mereka di hadapan orang asing. Keluarga bernaung di bawah reruntuhan bangunan.

Sanitasi: Toilet di Auschwitz memang sangat sederhana, tapi setidaknya ada. Di Gaza, limbah menggenangi tempat-tempat penampungan darurat. Sampah menumpuk tanpa ada yang mengangkut. Air tak layak minum. Anak-anak mandi di genangan air, seringkali di tempat yang sama tempat hewan buang kotoran. Penyakit menyebar—tanpa dicegah, tanpa pengakuan.

Runtuhnya sistem medis: Di Auschwitz, penyakit adalah bagian dari sistem. Di Gaza, keadaannya serupa. Lebih dari 1.400 tenaga medis telah terbunuh. Rumah sakit dibom atau kehabisan bahan bakar. Anak-anak meninggal karena luka yang tak ada lagi yang bisa mengobatinya. Kuburan massal menjadi rutinitas harian.

Bukan kerusakan sampingan

Setelah memaksa warga Palestina meninggalkan bagian utara dan tengah Gaza, Israel menggiring mereka ke selatan dengan janji keamanan. Tapi Rafah dan Khan Younis justru menjadi sasaran serangan.

Pasukan Israel membombardir wilayah yang sebelumnya mereka tetapkan sebagai “zona aman.” Mereka memberlakukan blokade total terhadap makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar. Setelah jeda singkat dalam pertempuran, serangan dimulai kembali.

Sejak itu, ribuan orang terbunuh. Ribuan lainnya terluka, banyak di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Skala penderitaannya tak terbayangkan, tapi ini bukanlah kebetulan. Ini bukan “kerusakan sampingan.” Ini adalah taktik.

Aku tak bisa berhenti memikirkan ayahku—yang selamat dari Nakba tahun 1948 dan selalu berkata pada kami, “Mereka mengambil tanah kami, tapi tidak semangat kami.” Ia dulu berjalan di antara kebun zaitun saat kecil, bertelanjang kaki dengan penuh kebanggaan. Kini, di usia 80, ia terbaring di atas kasur tipis dalam tenda, menyaksikan kebun-kebun itu diratakan—dan cucu-cucunya kembali menjadi pengungsi, kali ini di atas puing-puing rumah mereka sendiri.

Ada yang menyebut ini pembersihan etnis. Ada pula yang menyebutnya genosida. Aku menyebutnya apa yang terasa di hatiku: pemusnahan perlahan sebuah bangsa, disaksikan dunia dari kejauhan. Gaza bukan sekadar dikepung. Gaza sedang dihapus dari peta.

Aku tahu beratnya kata-kata ini. Aku tidak menuliskannya dengan enteng. Tapi aku menuliskannya karena aku lelah dengan kata-kata manis yang menyamarkan kekejaman. Lelah dengan bahasa “kedua belah pihak” yang kosong makna. Lelah berpura-pura ini adalah konflik, padahal jelas-jelas pembantaian.

Aku menulis ini karena saudara-saudaraku tak lagi punya rumah. Keponakanku tak lagi punya sekolah. Orang tuaku tak lagi punya rumah sakit. Rakyatku tak lagi punya masa depan—kecuali jika kita mulai menyebut ini sesuai kenyataannya.

Ini adalah kamp konsentrasi. Dan itu terjadi saat kita semua menyaksikannya.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us