DUNIA
5 menit membaca
Delapan tahun setelah genosida, orang Rohingya tetap ditinggalkan dalam kelaparan dan keheningan
Setelah pernah dijanjikan perlindungan dan keadilan, Rohingya kini menghadapi runtuhnya respons pengungsi di Bangladesh, kelaparan yang disengaja di Myanmar, dan pengabaian dari komunitas internasional.
Delapan tahun setelah genosida, orang Rohingya tetap ditinggalkan dalam kelaparan dan keheningan
Lebih dari satu juta pengungsi Rohingya masih terjebak di Cox's Bazar, Bangladesh (AP). / AP
9 jam yang lalu

Pada Agustus 2017, dunia melihat citra satelit dari Myanmar yang menunjukkan desa-desa Rohingya hangus terbakar. Para penyintas menggambarkan kengerian tak terbayangkan: pembantaian sistematis terhadap laki-laki, perempuan, dan anak-anak, saat lebih dari 700.000 orang dipaksa melarikan diri melintasi perbatasan menuju Bangladesh.

PBB menyebutnya genosida, dan para pemimpin dunia ramai-ramai mengecam kekejaman itu, sambil berjanji memberikan perlindungan dan menegakkan akuntabilitas.

Delapan tahun berlalu, janji-janji itu sebagian besar berganti dengan kesunyian. Hingga 2025, Rohingya tetap hidup tercerabut, terjebak, dan ditinggalkan—terperangkap di antara runtuhnya bantuan kemanusiaan di Bangladesh dan berlanjutnya genosida di Myanmar.

Bagi mereka yang lolos dari pembantaian massal di Myanmar, hidup di pengasingan membawa jenis penderitaan lain. Cox’s Bazar, kini kamp pengungsi terbesar di dunia, menampung lebih dari 1,1 juta Rohingya yang berjuang untuk bertahan hidup.

Gelombang baru pengungsi, yang melarikan diri dari kekerasan dan kelaparan di Myanmar, terus berdatangan ke kamp-kamp yang sudah runtuh di bawah kondisi tak manusiawi.

Para pengungsi tetap dilarang bekerja, membuat mereka sepenuhnya bergantung pada bantuan yang terus menyusut. Dengan lebih dari separuh populasi adalah anak-anak, 40 persen sudah mengalami stunting akibat malnutrisi. Tahun ini, pemangkasan bantuan yang brutal menambah dampak yang lebih menghancurkan.

Pemangkasan ini sebagian besar dipicu oleh krisis pendanaan global, ketika donor utama seperti Amerika Serikat dan Inggris memangkas kontribusi mereka untuk respons Rohingya, sehingga kebutuhan vital seperti pangan, kesehatan, dan sanitasi kekurangan dukungan kritis.

Pusat-pusat pendidikan ditutup, anak-anak kelaparan, dan satu generasi terancam terabaikan dalam buta huruf dan keputusasaan.

Kelaparan sebagai senjata di Rakhine

Pada November 2024, PBB sudah memperingatkan bahwa kelaparan mengintai Negara Bagian Rakhine, dengan lebih dari dua juta orang berisiko. Sejak saat itu, militer Myanmar memperketat blokade dan pembatasan, secara sengaja membuat warga sipil kelaparan.

Di Sittwe, ibu kota Rakhine, lebih dari 120.000 Rohingya masih terkurung di kamp-kamp, hanya bisa bertahan hidup dengan umbi talas dan ubi manis.

Laporan terbaru dari Burmese Rohingya Organisation UK (BROUK) berjudul Starving to Death menjelaskan bagaimana militer mengganti peluru dengan kelaparan sebagai senjata utama genosida.

Bangkitnya Arakan Army (AA) di Rakhine, yang berhasil merebut wilayah luas dari tentara Myanmar, membuat Rohingya terjebak di antara dua penindas. Militer melanjutkan strategi kelaparan dengan memblokade perdagangan dan bantuan, sementara AA memberlakukan kebijakan anti-Rohingya: menolak identitas, membatasi pergerakan, memeras “biaya,” hingga mengambil untung dari perdagangan manusia.

Penahanan digunakan sebagai alat intimidasi, dan Rohingya rutin ditangkap tanpa proses hukum, ditahan untuk tebusan, atau diperintahkan meninggalkan negara dengan ancaman ditangkap kembali.

Banyak korban hilang saat ditahan, sementara yang dibebaskan melaporkan penyiksaan berat. Human Rights Watch baru-baru ini mendokumentasikan pelanggaran AA, termasuk kerja paksa dan perekrutan, sementara Fortify Rights, LSM dengan pengalaman panjang di kawasan tersebut, menyerukan penyelidikan ICC atas kejahatan perang AA, mulai dari penculikan hingga pembunuhan massal dan pemenggalan warga sipil Rohingya.

Pelanggaran ini merupakan bagian dari kampanye kekerasan dan pengusiran yang lebih luas. Bagi Rohingya, AA mewakili gelombang kedua penganiayaan dan kelanjutan genosida. Baik tentara Myanmar maupun AA terus melakukan kekejaman tanpa tersentuh hukum.

Janji yang diingkari

Komunitas internasional telah gagal. Perhatian politik menyusut, janji pendanaan tak dipenuhi. Dunia yang dulu bersumpah “tidak akan terulang lagi” kini berpaling.

Mekanisme keadilan internasional yang seharusnya memberi harapan bagi Rohingya dan membuka jalan menuju perdamaian serta rekonsiliasi di Myanmar, sejauh ini gagal memberi hasil.

Proses di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) belum memberikan akuntabilitas berarti, sementara satu-satunya surat perintah penangkapan sejauh ini datang dari kasus yurisdiksi universal yang dipimpin Rohingya di Argentina.

Selain itu, kegagalan komunitas internasional bertindak tegas membuat Rohingya kehilangan keadilan sekaligus semakin tak percaya pada mekanisme global yang seharusnya melindungi mereka.

Apa yang harus berubah

Konferensi Tingkat Tinggi PBB bulan depan mengenai Situasi Muslim Rohingya dan Minoritas Lain di Myanmar tidak boleh menjadi sekadar ajang simbolis. Pertemuan itu harus menghasilkan langkah nyata dan mendesak:

  • Pendanaan penuh untuk bantuan kemanusiaan guna memenuhi kebutuhan mendesak di Bangladesh dan Myanmar. Pemangkasan bantuan harus dibatalkan demi mencegah kelaparan massal, terutama di kalangan anak-anak.

  • Mengakhiri blokade di Negara Bagian Rakhine. Tekanan maksimum harus diberikan kepada militer Myanmar agar menghentikan penggunaan kelaparan sebagai senjata, membuka akses perdagangan dan bantuan tanpa hambatan.

  • Mengejar dan menegakkan keadilan internasional. Baik militer Myanmar maupun Arakan Army harus dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap Rohingya. Perjuangan bersenjata tidak bisa dijadikan alasan untuk penganiayaan, pemerasan, perdagangan manusia, atau eksekusi.

  • Menggelar sidang Dewan Keamanan PBB guna menindaklanjuti kegagalan Myanmar mematuhi perintah ICJ untuk melindungi Rohingya, serta menekan agar kejahatan dirujuk ke ICC.

  • Menjatuhkan langkah-langkah terarah. Upaya multilateral yang terkoordinasi diperlukan untuk menegakkan embargo senjata global, menghentikan suplai bahan bakar penerbangan ke militer, serta menjatuhkan sanksi khusus pada militer Myanmar, para pemimpinnya, dan sumber pendapatannya.

  • Menjamin keterlibatan dan perlindungan Rohingya. Solusi berkelanjutan tidak bisa dipaksakan dari luar. Rohingya harus dilibatkan dalam menentukan masa depan mereka sendiri, dengan jaminan untuk kembali secara aman, sukarela, dan bermartabat ke rumah serta tanah mereka.

  • Mendukung Bangladesh. Komunitas internasional harus meningkatkan bantuan kepada Bangladesh untuk memastikan pangan, obat-obatan, tempat tinggal, pendidikan, dan mata pencaharian bagi pengungsi Rohingya, sekaligus mengakhiri larangan diskriminatif atas kerja dan pendidikan di kamp.

Kelaparan di Rakhine bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan. Kelaparan di Cox’s Bazar bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan. Hilangnya satu generasi lagi juga bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan. Semua itu bisa dicegah — jika dunia memilih untuk bertindak.

Tidak melakukan apa-apa bukanlah sikap netral; itu adalah pilihan untuk membiarkan genosida berlanjut. Sejarah akan mengingat bukan hanya para jenderal yang membakar desa kami pada 2017, tetapi juga kesunyian dan janji-janji yang diingkari setelahnya.

SUMBER:TRT World
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us