Ribuan prajurit dari Indonesia dan Amerika Serikat menuntaskan latihan militer tahunan Garuda Shield dengan latihan tembak hidup pada Rabu (3/9). Latihan ini dimulai pada 24 Agustus di Jakarta, dengan kegiatan tambahan berlangsung di Baturaja dan Dabo Singkep, Pulau Sumatra. Kegiatan selama latihan meliputi tembakan artileri jarak jauh, peluncuran roket, serangan udara terpadu, dan manuver pasukan darat, yang bertujuan meningkatkan kemampuan tempur dan koordinasi antar pasukan.
Latihan ini diawasi langsung oleh Kepala Staf TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Subiyanto memuji prajurit Indonesia atas kemampuan mereka menunjukkan interoperabilitas yang tinggi dengan pasukan mitra strategis. “Prajurit kami berhasil beradaptasi dengan taktik dan teknologi yang dibawa oleh pasukan negara lain, yang menunjukkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman modern,” ujarnya.
Tonggak sejarah penggunaan rudal Stinger
Salah satu momen penting dalam latihan ini adalah tembakan dua rudal FIM-92 Stinger oleh tentara AS dari Divisi Lintas Udara ke-11. Ini merupakan kali pertama rudal Stinger ditembakkan di Indonesia dan menandai tonggak penting bagi Washington. Kapten Angkatan Darat AS Kaden Cox mengatakan, “Ini bukan hanya pertama kalinya untuk seluruh Divisi Lintas Udara ke-11, tetapi juga pertama kali kemampuan ini digunakan di Indonesia. Latihan ini memungkinkan kami menguji koordinasi antara pasukan udara dan darat dalam kondisi nyata.”
Super Garuda Shield tahun ini menitikberatkan pada penguatan hubungan regional di tengah ketidakstabilan global. Latihan ini pertama kali diselenggarakan pada 2006 dan terus berkembang. Sejak 2022, partisipasi diperluas mencakup Australia, Jepang, Singapura, Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, Belanda, Selandia Baru, Brasil, dan Korea Selatan, sehingga total pasukan mencapai 6.500 personel. Beberapa negara Asia juga mengirimkan pengamat untuk mempelajari taktik dan prosedur latihan.
Kontroversi dan reaksi regional
Latihan ini mendapat kritik dari China, yang menuding AS berusaha membangun “NATO Asia” untuk membatasi pengaruh Beijing. Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menegaskan bahwa tujuan latihan ini adalah memperkuat aliansi militer di Indo-Pasifik dan memberikan jaminan keamanan bagi sekutu yang khawatir atas meningkatnya tekanan militer dan ekonomi China serta tindakan provokatifnya di Laut China Selatan.
Garuda Shield menjadi contoh kerja sama militer internasional yang terus berkembang, sekaligus menunjukkan kemampuan Indonesia dalam mengintegrasikan teknologi dan strategi modern ke dalam latihan tempur. Selain itu, latihan ini membuka peluang pertukaran pengalaman antar negara peserta, meningkatkan kesiapsiagaan regional, dan memperkuat diplomasi militer di tengah dinamika geopolitik global.
