Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyuarakan keprihatinan yang mendalam atas perlakuan terhadap para pengunjuk rasa yang ditahan dalam demonstrasi baru-baru ini yang memprotes gaji dan tunjangan DPR, dan mendesak polisi di seluruh negara untuk mengadopsi keadilan restoratif dalam melakukan tindakan hukum.
Komisi tersebut menyatakan bahwa penangkapan besar-besaran—1.683 orang di Jakarta antara 25 dan 31 Agustus, dan lebih dari 100 orang di Solo pada akhir Agustus dan awal September—menimbulkan pertanyaan tentang praktik penegakan hukum.
Beberapa tahanan, menurut Komnas HAM, belum diberikan akses kepada penasihat hukum, yang merupakan sebuah pelanggaran hak asasi mereka.
“Penegakan hukum harus dilakukan secara akuntabel, transparan, dan adil, berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah,” Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengingatkan dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.
Komnas HAM juga menyoroti penangkapan para aktivis, termasuk Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, dan memperingatkan bahwa penuntutan terhadap aktivis dapat membungkam kebebasan berekspresi.
"Kami sangat menyesalkan hal ini dan mendesak polisi untuk membebaskan mereka," ujar Anis.
Selain menyerukan pembebasan para aktivis, komisi tersebut mendesak pihak berwenang untuk segera membebaskan para pengunjuk rasa yang masih ditahan di kantor polisi provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, harus dihentikan, tegas Anis.
Selain menjamin keadilan bagi mereka yang ditahan secara tidak sah, Komnas HAM menuntut pemulihan hak-hak korban yang terbunuh atau terluka selama protes. Komisi mencatat bahwa para penyintas dan keluarga mereka, terutama perempuan dan anak-anak, dapat menghadapi trauma jangka panjang tanpa pemulihan yang layak.
Inti dari seruan Komnas HAM adalah pengingat yang lebih luas: akses terhadap bantuan hukum merupakan hak asasi manusia yang fundamental, dan menegakkannya sangat penting dalam menjaga kebebasan demokrasi di Indonesia.
