Michael Wolfe — seorang warga Amerika kulit putih yang lahir pada tahun 1945 dari ayah Yahudi dan ibu Kristen — memulai perjalanan ke Mekah 35 tahun yang lalu yang tidak hanya mengubah kehidupan spiritualnya, tetapi juga menjadikannya tokoh penting dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat Amerika secara luas.
Sebagai seorang penulis dan penyair, Wolfe memeluk Islam di usia akhir 30-an, yang kemudian membawanya untuk melaksanakan Haji, ziarah tahunan ke tempat kelahiran Islam di Arab Saudi saat ini.
Karya Wolfe selanjutnya — termasuk dokumenter pertama tentang Haji yang ditayangkan di ABC, salah satu jaringan televisi besar di AS — menjadi titik balik dalam cara Islam dipersepsikan di Amerika sebelum peristiwa 9/11.
“Saat itu, Islam bukanlah topik besar di AS. Islam hanyalah sudut kecil dari monoteisme etis, seperti Kristen dan Yudaisme. Tentu saja ada Muslim, tetapi mereka hanya sekitar satu persen dari populasi (AS), mungkin,” katanya kepada TRT World.
Melalui berbagai buku dan film, Wolfe telah menghabiskan beberapa dekade untuk memberikan gambaran yang mendalam tentang Islam kepada audiens Barat yang belum akrab dengan tradisinya.
Menjadi Muslim, secara perlahan dan bertahap
Sebelum memeluk Islam, Wolfe telah “menyaksikan Woodstock” dan “ikut serta dalam demonstari di Washington” — peristiwa budaya dan politik besar di era 1960-an yang penuh gejolak — yang menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang pertapa religius yang terisolasi dari realitas sehari-hari.
Perjalanan Wolfe menuju Islam berlangsung secara bertahap, berakar dari bertahun-tahun keterlibatannya dalam budaya Muslim. Ia menghabiskan tiga tahun setelah lulus kuliah tinggal di Afrika Utara dan Barat, termasuk di Maroko, Ghana, Togo, Pantai Gading, dan Liberia.
“Saya punya waktu yang cukup lama untuk mengenal Muslim dan melihat bagaimana Islam menjadi bagian dari kehidupan mereka,” katanya. “Mereka sangat baik kepada saya. Saya tidak pernah mengalami penderitaan di tangan mereka.”
Paparan ini menjadi dasar bagi keputusan akhirnya untuk memeluk Islam, meskipun ia baru mengambil langkah terakhir itu di usia akhir 30-an.
Sebuah kecelakaan mobil pada tahun 1980-an menjadi pemicu. Saat memulihkan diri dari cedera yang membuatnya tidak bisa berjalan selama tiga bulan, Wolfe menemukan sebuah buku doa di sebuah toko buku di California, yang dicetak di Lahore, Pakistan.
Menggunakan stand musik dan karet gelang untuk menahan buku tetap terbuka, ia menghafal doa-doa dalam bahasa Arab secara fonetik, mirip dengan cara ia mempelajari bahasa Yunani dan Latin selama studinya di Universitas Wesleyan, di mana ia mengambil jurusan bahasa.
“Saya mulai melakukannya, dan punggung saya terasa lebih baik,” katanya, mengaitkan disiplin fisik dalam doa dengan pemulihannya.
Pengalaman ini membawanya ke sebuah masjid di San Jose, di mana ia mulai menghadiri shalat Jumat dengan hati-hati.
“Saya duduk di pojok dan mengamati… Saya belum ingin menjadi Muslim. Saya perlu merasakan ini terlebih dahulu,” katanya.
Mengambil pengalaman spiritual dari perjuangan fisik
Saat tiba di Mekah untuk Haji pada tahun 1990, Wolfe mendapati dirinya dikelilingi oleh komunitas jutaan orang, menjadi bagian dari “keramaian dengan karakter planetari”.
Tuntutan fisik dan emosional dari ziarah — panas, kerumunan, ritual — mengujinya, tetapi juga membawa kejelasan. “Haji membutuhkan usaha. Itu adalah bagian dari apa yang dimaksudkan,” katanya.
Pandangan pertama terhadap Ka'bah — struktur batu hitam yang diselimuti sutra di tengah Masjidil Haram di Mekah yang oleh seorang sejarawan digambarkan sebagai “fragmen otentik dari masa lalu tertua” — meninggalkan kesan mendalam pada Wolfe.
“Saya melihatnya pada tengah malam… sebuah kubus geometris sempurna… dibungkus kain sutra satin, di atas lingkaran marmer putih yang dipoles,” katanya. “Sangat dramatis. Sangat indah.”
Bagi Wolfe, Ka'bah bukan hanya sebuah struktur tetapi juga “penanda bermakna” dari pusat spiritualnya, tempat di mana “Anda menempatkan Tuhan di pusat kehidupan Anda”.
Beban emosional momen itu diperkuat oleh orang-orang di sekitarnya, seperti seorang pria Afghanistan yang menangis di sampingnya, terharu melihat Kaaba yang telah dia hadapi saat berdoa sepanjang hidupnya.
Ritual-ritual Haji membutuhkan ketahanan fisik dan fokus spiritual. Wolfe menekankan pentingnya memahami cerita di balik ritual-ritual ini.
Untuk Sa’ay, di mana jamaah berjalan bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah tujuh kali, Wolfe mengatakan ia berusaha menggambarkan pencarian air yang putus asa oleh Hajar, istri Nabi Ibrahim, untuk putranya, Ismail.
“Kamu mencoba menempatkan diri dalam pikiran seseorang yang memiliki keinginan dan kebutuhan,” katanya.
Di Gunung Arafat, Wolfe melihat lokasi ritual terpenting dalam haji sebagai “rehearsal untuk Hari Penghakiman”.
Jamaah haji melaksanakan shalat zuhur dan asar secara bergantian di Arafat, lalu “berdiri di hadapan Allah” hingga matahari terbenam. Tempat ini adalah tempat Nabi Muhammad menyampaikan khutbah terakhirnya pada tahun 623 M.
Haji menjadi “terlalu luas, terlalu besar untuk menjadi subjek” di Arafat, tambahnya.
Wolfe menekankan pentingnya memahami cerita di balik ritual-ritual haji. Foto: Michael Wolfe
Dari peziarah menjadi pencerita
Haji Wolfe tidak berakhir di Mekah. Kembali ke California, ia menuangkan pengalamannya ke dalam buku The Hadj: An American’s Pilgrimage to Mecca, sebuah buku yang memakan waktu tiga tahun dan beberapa draf untuk diselesaikan.
“Ini adalah contoh ketika orang yang tepat dan subjek yang tepat bertemu,” katanya tentang proses tersebut. Buku ini ditulis dengan prosa yang hidup, yang seorang pembaca gambarkan membuat Kindle-nya “semua kuning” karena bagian-bagian yang dihighlight.
Bertahun-tahun setelah buku itu diterbitkan, panggilan tak terduga dari produser ABC Nightline – program berita larut malam yang populer dan telah lama berjalan untuk liputan mendalam – membawa Wolfe ke proyek inovatif.
Produser TV itu bertanya apakah dia mengenal seseorang yang bisa ikut dengan kru film kecil untuk membuat dokumenter tentang Haji. Dia berpikir sekitar 10 detik dan menjawab, “Well, tidak ada orang lain selain saya”.
Hasilnya adalah dokumenter berdurasi setengah jam yang tayang pada 1997, menjadi film mainstream pertama tentang Haji di televisi Amerika.
Dokumenter ini direkam selama Haji kedua Wolfe, menjangkau jutaan penonton, dan memberikan gambaran langka tentang ibadah haji melalui mata Wolfe sebagai pemandu bagi kru film Muslim dari Aljazair, Mesir, dan Palestina.
“Saya adalah Mutawwif karena ketiga orang ini (para pembuat film)… belum pernah ke Mekah,” katanya sambil menggunakan istilah yang biasanya digunakan untuk seorang peziarah berpengalaman yang memandu orang lain selama Haji.
Film ini langsung menjadi populer. Film ini dinominasikan untuk Penghargaan Peabody, Emmy, George Polk, dan National Press Club.
Tanpa disengaja, proyek ini meluncurkan Wolfe ke karier baru sebagai pembuat film dokumenter. Bersama seorang Muslim Amerika lainnya yang juga mualaf, ia mendirikan Unity Productions Foundation, yang memproduksi film-film tentang sejarah dan budaya Islam, termasuk Muhammad: Legacy of a Prophet, yang ditayangkan tak lama setelah 9/11.
Ditonton oleh jutaan orang, film ini melawan sentimen anti-Muslim yang meningkat dengan menampilkan kehidupan Nabi Muhammad dan nilai-nilai Islam. “Itu adalah satu-satunya program di televisi Amerika (pasca-9/11) yang tidak membahas terorisme,” katanya.
Selama bertahun-tahun, tim Wolfe telah memproduksi 15 film dokumenter, mencakup topik mulai dari kontribusi Muslim di Spanyol abad pertengahan hingga kehidupan budak Muslim pada era Perang Saudara Amerika.
“Setiap cerita yang bisa kami ceritakan yang menunjukkan kepada penonton bahwa Muslim juga bagian dari gambaran itu… itulah yang kami lakukan,” katanya. Film-film ini, yang ditayangkan secara nasional dan digunakan di sekolah-sekolah, telah mendidik generasi tentang sejarah Islam yang kaya.
Menjaga Haji
Menjalani hidup sebagai Muslim di California, jauh dari masjid atau komunitas Muslim besar, Wolfe menghadapi tantangan mempertahankan imannya. “Bagian yang sulit adalah mempertahankannya saat pulang,” akunya. “Kamu pikir Haji sulit. Tunggu sampai kamu pulang.”
Haji tetap menjadi titik acuan. “Saya terus memikirkannya. Saya terus mengambil inspirasi darinya,” kata Wolfe, mengenang momen seperti membantu seorang wanita tua yang lemah ke tenda medis di Gunung Arafat. Tindakan kecil seperti itu, katanya, merupakan bagian dari dampak abadi ziarah tersebut.
Di usia 80 tahun, Wolfe terus menulis dan memproduksi film. Perjalanannya dari seorang pelancong penasaran di tanah Muslim menjadi seorang mualaf, peziarah, dan pencerita telah membantu meningkatkan pemahaman tentang Islam di Amerika.
“Haji menyatukan saya,” katanya, membandingkan dirinya dengan kue yang semua bahan akhirnya dipanggang.