DUNIA
7 menit membaca
Kebijakan yang cacat: Perang narkoba AS di Amerika Latin kriminalisasi rakyat
Strategi Washington menggunakan kekuatan dalam perang melawan kartel narkoba tidak berhasil. Sebab konsep ini sejak awal cacat, menargetkan warga sipil.
Kebijakan yang cacat: Perang narkoba AS di Amerika Latin kriminalisasi rakyat
Nicolas Maduro berpose menantang selama acara peringatan hari lahir mendiang presiden Hugo Chavez, di Caracas. (Foto AP/Ariana Cubillos)

Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat melancarkan apa yang disebut sebagai “perang melawan narkoba” di Amerika Latin, dengan strategi kontrol geopolitik yang mengkriminalisasi rakyat, menguntungkan modal transnasional, dan membenarkan intervensi militer.

Ancaman intervensi militer AS meningkat setelah Presiden Donald Trump memerintahkan pengerahan pasukan dan kapal perang ke dekat pantai Venezuela.

Langkah ini, yang dibingkai Gedung Putih sebagai upaya “menggunakan seluruh kekuatannya” untuk “menghentikan aliran narkoba” dari Amerika Latin, dibenarkan dengan tuduhan Washington bahwa Presiden Venezuela Nicolas Maduro memimpin pemerintahan “ilegal” yang dianggap sebagai “kartel narkotrafik”. Caracas dengan keras menolak klaim tersebut.

Lebih dari sekadar pengerahan pasukan, justifikasi yang digunakan pemerintahan Trump untuk “memerangi” perdagangan narkoba di Amerika Latin mengulang kegagalan “perang narkoba” yang sudah dijalankan Washington selama puluhan tahun di kawasan ini.

Faktanya, ancaman baru aksi militer ini justru menegaskan kegagalan kebijakan itu sendiri.

Bagi negara-negara Global South, eskalasi AS telah membuka kembali perdebatan seputar kebijakan lama anti-narkoba. Apa yang disebut “perang melawan narkoba” bermula dari wacana simbolis Presiden Richard Nixon, yang pada 1971 menyebut penggunaan narkoba sebagai “musuh publik nomor satu.”

Nixon mengumumkan “serangan habis-habisan” untuk menangani persoalan ini secara global, meskipun, menurut The New York Times, ia secara pribadi meragukan langkah tersebut.

Sejak saat itu, Washington telah menghabiskan lebih dari $1 triliun — sekitar $3.100 per orang — untuk strategi ini, meski konsumsi dan peredaran kokain di Barat terus meningkat. Kebijakan ini bahkan menuai kritik dari pejabat AS sendiri.

“Selama 50 tahun terakhir, kita sayangnya menyaksikan bagaimana ‘perang narkoba’ digunakan sebagai alasan untuk memerangi orang kulit berwarna, warga miskin Amerika, dan banyak kelompok termarjinalkan lainnya,” kata Jaksa Agung New York Letitia James dalam pernyataannya tahun 2021 yang menandai peringatan kebijakan itu.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, juga memperingatkan pada Desember lalu bahwa “perang narkoba telah menghancurkan tak terhitung banyaknya nyawa dan merusak seluruh komunitas.”

Ia menambahkan, “kriminalisasi dan pelarangan gagal mengurangi konsumsi narkoba atau mencegah kejahatan terkait. Kebijakan ini jelas tidak berhasil, dan kita telah mengecewakan kelompok-kelompok paling rentan dalam masyarakat.”

World Drug Report 2025 dari PBB menyoroti peningkatan berkelanjutan dalam produksi, penyitaan, dan konsumsi narkoba global, menegaskan perlunya perubahan pendekatan internasional yang berfokus pada pencegahan serta penanganan akar struktural perdagangan narkoba.

Modal transnasional dan perusahaan swasta

Meski bukti kegagalan ini sudah berulang kali disampaikan, AS tetap membentuk kebijakan luar negerinya terhadap Amerika Latin dengan fokus pada perdagangan narkoba dan kelompok kriminal yang dituduh sebagai pelakunya.

Sejak Februari, selain memperketat upaya migrasi terhadap orang-orang yang diduga anggota geng, pemerintahan Trump telah menetapkan geng kriminal Venezuela Tren de Aragua, geng El Salvador MS-13, dan enam organisasi asal Meksiko sebagai kelompok teroris.

Penetapan ini biasanya dikaitkan — tanpa bukti — dengan kelompok yang menggunakan kekerasan untuk tujuan politik, bukan sekadar geng kriminal yang mencari keuntungan.

Inilah yang kemudian melanggengkan wacana hegemonik yang menopang “perang narkoba” selama puluhan tahun, yang sesungguhnya sangat menguntungkan modal transnasional.

Dalam bukunya Drug War Capitalism, jurnalis Dawn Paley menjelaskan bahwa model militerisasi — yang dibenarkan atas nama “perang” ini — memungkinkan penandatanganan kontrak keamanan, privatisasi fungsi negara, serta penguasaan wilayah strategis, sehingga menciptakan arsitektur kekerasan yang dilegalkan demi melayani pasar global.

Antoine Perret, peneliti dan pakar ekonomi politik konflik, mendokumentasikan bagaimana perang melawan narkoba dialihdayakan kepada perusahaan militer swasta yang menjadikan keamanan sebagai bisnis menguntungkan.

Menurut Perret, privatisasi perang ini memfasilitasi konsolidasi kompleks industri dan militer dengan pengawasan negara yang minim, di mana keamanan berubah menjadi bisnis global yang dikelola perusahaan swasta dengan agenda geopolitik dan ekonomi.

Pada saat yang sama, penetrasi modal ini berakar kuat dalam sistem keuangan global saat ini. Sejumlah studi menunjukkan bahwa aliran keuangan ilegal menyumbang 2 hingga 5 persen PDB global — setara $2 hingga $5 triliun per tahun — dan kurang dari satu persen yang berhasil disita.

Kondisi ini mencerminkan impunitas struktural, di mana penerima manfaat sesungguhnya dari perdagangan narkoba internasional bukanlah produsen kecil atau mata rantai kriminal yang terlihat, melainkan aktor besar di sektor keuangan, korporasi, dan perbankan yang beroperasi bebas dari bank lepas pantai, surga pajak, dan jaringan korupsi transnasional.

Bernaung di balik arus keuangan legal dan arsitektur finansial yang dirancang untuk anonimitas dan penghindaran, aktor-aktor ini nyaris tak tersentuh, sementara kriminalisasi justru menimpa negara-negara dan komunitas di Global South.

Aliran senjata internasional dari AS ke jaringan kriminal di Amerika Latin, seperti kartel dan kelompok bersenjata, tetap menjadi faktor utama kekerasan regional. Namun hal ini kerap diabaikan dalam wacana politik pemerintahan Trump.

Rocco Carbone, peneliti dan filsuf asal Argentina, penulis Global Mafia: Essays on Criminal Power and Dispossession, berpendapat bahwa jaringan mafia di Amerika Latin tidak boleh dipahami sekadar sebagai penyimpangan dari sistem, melainkan ekspresi organik dan fungsional dari tatanan neoliberal dan kolonial yang berlaku di kawasan.

Carbone menjelaskan bahwa struktur kriminal ini bertautan erat dengan dinamika kekuasaan politik dan ekonomi, berfungsi sebagai mekanisme akumulasi lewat perampasan dan kontrol sosial.

Dengan demikian, jaringan ini harus dipahami sebagai mekanisme tata kelola yang memperkuat model kapitalisme pinggiran sekaligus bentuk dominasi neokolonial di Amerika Latin.

Apakah kontrol wilayah menjadi tujuan utama?

Di negara-negara seperti Ekuador, analis memperingatkan pola yang kian nyata: meningkatnya kehadiran militer AS atau penguatan perjanjian kerja sama dengan dalih memerangi perdagangan narkoba.

Di Ekuador, Presiden Daniel Noboa mengusulkan pendirian pangkalan militer AS sebagai bagian dari strategi keamanannya.

Selain itu, ia menandatangani perjanjian regional yang belum pernah ada sebelumnya dengan perusahaan keamanan swasta kontroversial Blackwater, yang dikenal karena keterlibatannya dalam konflik bersenjata dan peranannya dalam privatisasi operasi militer.

Noboa juga mengumumkan akan menggandeng Israel untuk dukungan intelijen dalam memerangi kartel narkoba.

Dari komunitas adat dan petani di Amerika Latin, muncul berbagai usulan konkret yang menantang pendekatan internasional anti-narkoba yang bersifat represif dan militeristik, terutama yang dipromosikan oleh negara-negara Global North.

Di Bolivia, organisasi petani coca mengembangkan model pengendalian sosial berbasis komunitas untuk budidaya coca. Melalui Undang-Undang Umum tentang Coca (2017), sistem ini mengakui nilai leluhur dan medis tanaman coca, menetapkan batas wilayah produksinya, serta mendorong regulasi mandiri tanpa intervensi bersenjata.

Inisiatif serupa muncul di Kolombia, di mana majelis antarbudaya di wilayah adat merancang kebijakan regulasi berdasarkan pengetahuan leluhur. Usulan ini bertujuan memastikan manfaat ekonomi tetap berada di tangan komunitas penghasil.

Kesepakatan damai 2016 antara pemerintah Kolombia dan mantan FARC mencakup program penggantian tanaman secara sukarela dan reformasi agraria yang ambisius.

Elemen serupa juga dipertimbangkan dalam proses dialog damai dengan Tentara Pembebasan Nasional (ELN).

Organisasi seperti International Drug Policy Consortium (IDPC) mendorong dekolonisasi kebijakan global narkoba, menuntut reformasi perjanjian seperti Konvensi Wina 1961, serta menyerukan kedaulatan, otonomi komunitas, dan keadilan historis atas berabad-abad kriminalisasi dan stigmatisasi budaya.

Sosiolog Peru Anibal Quijano, yang dikenal lewat kontribusinya pada pemikiran kritis di Amerika Latin, menegaskan bahwa struktur kekuasaan warisan kolonial terus membentuk organisasi sosial, politik, dan ekonomi kawasan, melanggengkan hierarki ras, pengetahuan, dan ekonomi.

Di tengah ancaman intervensi AS yang membayangi, Amerika Latin diingatkan pada sejumlah babak kelam dalam sejarah, seperti kudeta 2002 di Venezuela terhadap Presiden Hugo Chavez, yang oleh beberapa media disebut mendapat dukungan Washington. Saat demonstrasi menentang oposisi, penembak jitu di gedung-gedung Caracas menewaskan lebih dari 12 orang.

Pengerahan militer AS juga bertentangan dengan deklarasi Amerika Latin sebagai zona damai yang diadopsi Community of Latin American and Caribbean States (CELAC), organisasi regional yang mendorong integrasi dan pembangunan.

Deklarasi itu, yang didasarkan pada tujuan dan prinsip PBB, menekankan perlunya perlucutan senjata universal dan melarang ancaman maupun penggunaan kekuatan, di antara langkah lainnya.

Sementara pemerintahan Trump berupaya melancarkan ofensif di Amerika Latin dengan dalih memerangi kartel narkoba, sejarah menunjukkan bahwa pendekatan konfrontatif bukanlah solusinya.

Akankah kita terus menerima narasi yang membenarkan kontrol dan militerisasi, atau beralih ke kebijakan yang menangani akar struktural dan membangun solusi yang bermartabat serta berdaulat?

(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di TRT Español)

SUMBER:TRT World & Agencies
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us