Persetujuan final Israel atas proyek permukiman E1 menjadi titik balik penting. Selama beberapa dekade, pemerintahan Israel berturut-turut menahan diri untuk tidak melanjutkan rencana ini karena konsekuensinya yang begitu luas.
Kini, dengan memberi lampu hijau pada pembangunan lebih dari 3.400 unit perumahan antara Ma’ale Adumim dan Yerusalem Timur, Israel menegaskan niatnya: tidak hanya memperkuat pendudukan, tetapi juga menghapus kemungkinan berdirinya negara Palestina.
Signifikansi E1 telah lama diakui oleh komunitas internasional. Pejabat Amerika, Eropa, bahkan Israel sendiri, pernah memperingatkan bahwa pembangunan di wilayah ini akan membuat negara Palestina yang berkesinambungan menjadi mustahil.
Alasannya sederhana: proyek ini akan memutus Yerusalem Timur dari wilayah Tepi Barat yang diduduki dan membelahnya menjadi fragmen utara dan selatan. Tanpa kesinambungan wilayah, solusi dua negara secara geografis tak lagi dapat diwujudkan.
Karena itu, pernyataan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich terdengar begitu gamblang: “Negara Palestina sedang dihapus dari meja, bukan dengan slogan, tetapi dengan tindakan.”
Ini bukan sekadar retorika. Ini adalah pengabaian resmi atas proses perdamaian. Israel kini secara terbuka menyatakan hal yang sejak lama tampak jelas dalam praktik — bahwa mereka tidak pernah berniat memberi ruang bagi kedaulatan Palestina.
Dua negara, satu ilusi
Selama puluhan tahun, solusi dua negara dipandang oleh negara-negara Barat sebagai satu-satunya kerangka yang layak untuk perdamaian. Namun, E1 kini membongkar hal itu sebagai fiksi belaka. Dengan sengaja memutus komunitas Palestina satu sama lain, Israel tidak sekadar memperluas permukiman; mereka meruntuhkan fondasi negara Palestina secara struktural.
Pemerintahan AS berturut-turut, dari Clinton hingga Obama, menentang E1 tepat karena alasan ini. Uni Eropa lama menyebutnya sebagai “garis merah.” Tetapi Israel kini telah melampaui garis itu tanpa konsekuensi.
Kali ini, AS tidak segera memberikan komentar. Namun arah sikap mereka sudah jelas selama bertahun-tahun. Ketika ditanya Radio Angkatan Darat Israel tentang posisi pemerintahan Trump terhadap E1, duta besar Mike Huckabee menjawab lugas: “Apakah seharusnya ada pembangunan besar-besaran di E1 adalah keputusan pemerintah Israel. Jadi kami tidak akan mencoba menilai apakah itu baik atau buruk.”
Jika para pemimpin dunia terus mengulang mantra solusi dua negara tanpa bertindak melawan E1, mereka tidak hanya menipu diri sendiri — tetapi ikut serta mengubur sisa-sisa terakhir visi tersebut.
Gelombang pengusiran baru
Dampak kemanusiaannya tak kalah nyata. Di balik jargon diplomatik soal “keberlangsungan” dan “kelayakan,” E1 akan membawa malapetaka bagi warga Palestina di lapangan.
Wilayah yang akan dibangun bukanlah tanah kosong; di sana terdapat desa-desa Palestina dan komunitas Badui, seperti Khan al-Ahmar, yang lama terancam digusur.
Komunitas ini berhadapan dengan kemungkinan pengusiran paksa. Proyek ini akan menyita tanah, merobohkan rumah, dan semakin menghilangkan akses masyarakat pada mata pencaharian pertanian.
Selain itu, E1 akan memperketat kontrol Israel atas pergerakan Palestina. Dengan mengokohkan blok permukiman di sekitar Yerusalem dan Tepi Barat tengah, proyek ini akan membuat perjalanan antara bagian utara dan selatan wilayah itu semakin sulit — bahkan bisa sepenuhnya dilarang kecuali dengan izin khusus, meniru pemisahan antara Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.
Warga Palestina sudah menghadapi pos pemeriksaan, jalan terpisah, dan tembok pemisah. E1 akan memperdalam fragmentasi ini, menjadikan kehidupan sehari-hari semakin terpecah, tidak aman, dan penuh ketidakpastian.
Dan sejarah menunjukkan, pertumbuhan permukiman tidak datang sendirian. Ia dibarengi meningkatnya kekerasan pemukim, yang didukung perlindungan militer Israel.
Petani Palestina akan menghadapi lebih banyak perampasan tanah, intimidasi, dan pembatasan akses terhadap air serta sumber daya alam. Persetujuan E1 menandai bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan gelombang baru perampasan.
Kekhawatiran yang hampa
Secara diplomatik, langkah ini membuat Israel semakin terpojok. Pada saat puluhan negara bersiap secara resmi mengakui Negara Palestina pada September mendatang, Israel justru bertindak untuk menghapus negara itu dari kenyataan lapangan.
Pengakuan, betapapun penting secara simbolis, takkan berarti jika tidak dibarengi langkah konkret untuk menghentikan kebijakan aneksasi Israel. Jika tidak, dunia hanya akan terjebak dalam absurditas: mengakui sebuah negara yang wilayahnya tengah dipreteli dan dijajah secara nyata.
Bagi Israel, taruhannya jelas. Para pemimpinnya bertaruh bahwa negara-negara Barat akan terus mengeluarkan pernyataan “keprihatinan” tanpa melakukan tindakan berarti. Hingga kini, mereka terbukti benar.
Meski Mahkamah Internasional telah memperingatkan adanya “risiko genosida yang masuk akal” di Gaza, dan meski Amnesty International, Human Rights Watch, serta LSM Israel B’Tselem menyebut Israel sebagai rezim apartheid, AS, Inggris, dan Uni Eropa tidak menjatuhkan satu pun sanksi. Sebaliknya, Israel terus menerima bantuan militer dan perlindungan diplomatik.
Namun, persetujuan atas E1 membuat posisi ini semakin sulit dipertahankan. Bagaimana mungkin Washington, London, atau Brussel terus berbicara tentang solusi dua negara sementara Israel secara terbuka menyatakan tengah menghapus solusi itu “dengan tindakan”?
Bagaimana mungkin pengakuan Palestina pada September mendatang punya kredibilitas jika pemerintah-pemerintah itu menolak bertindak melawan proyek yang dirancang khusus untuk menghancurkannya?
E1 bukan sekadar soal 3.400 unit perumahan. Ini menyangkut masa depan Palestina dan kredibilitas tatanan internasional. Dengan melanjutkan proyek ini, Israel secara terang-terangan menunjukkan bahwa mereka tidak takut pada konsekuensi.
Sejauh ini, kalkulasi itu terbukti benar: tak ada satu pun pemerintah Barat yang bertindak tegas untuk menghentikannya.
Kini pilihan ada di tangan Inggris, Uni Eropa, dan AS. Mereka bisa terus mengeluarkan pernyataan sambil membiarkan Israel melampaui setiap garis merah. Atau mereka bisa menyamakan kata-kata dengan tindakan nyata — melalui sanksi, mekanisme akuntabilitas, dan tekanan serius untuk menghentikan ekspansi permukiman.
E1 adalah tanda paling jelas bahwa Israel telah meninggalkan bahkan kepura-puraan perdamaian. Pertanyaan terakhir yang tersisa adalah: apakah dunia juga akan terus berpura-pura bersamanya?
