Asap mengepul di atas Doha, sebuah kolom hitam membelah cakrawala yang dipenuhi menara kaca dan batu putih. Untuk pertama kalinya, jet-jet tempur Israel melintasi wilayah udara Qatar. Israel menyatakan serangan itu ditujukan pada negosiator perdamaian Hamas. Sementara Qatar menyebutnya sebagai serangan pengecut terhadap rumah-rumah warga sipil.
Kota Doha, yang dikenal sebagai pusat diplomasi dan jembatan negosiasi, kini dibom. Kamera AFP menangkap puing-puing kehancuran. Asap tebal menggantung di atas bangunan yang runtuh.
Di daerah tersebut, banyak warga sipil yang tinggal. Sebuah sekolah Lebanon terletak tidak jauh dari lokasi serangan.
Seorang pejabat Hamas di Gaza mengonfirmasi bahwa para negosiator yang sedang membahas tawaran gencatan senjata terbaru dari Presiden AS Donald Trump terkena serangan di tengah pembicaraan.
Namun, gema peristiwa ini terasa familiar.
Pada tahun 2010, Uni Emirat Arab mengungkap tim pembunuh Israel setelah komandan Hamas, Mahmoud al-Mabhouh, ditemukan tewas di kamar hotelnya.
Paspor palsu, rekaman CCTV, pengusiran diplomatik. Israel terpaksa mundur. Teluk dianggap terlalu sensitif. Namun, pengendalian itu kini telah menguap.
Kurang dari dua minggu setelah Kepala Militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, memperingatkan bahwa "sebagian besar kepemimpinan Hamas berada di luar negeri, dan kami akan mencapainya juga," Doha diserang.
Ini bukan sekadar serangan terhadap Hamas. Ini adalah serangan terhadap kedaulatan. Hukum internasional jelas. Tidak ada negara yang boleh menyerang negara lain tanpa persetujuan Dewan Keamanan atau dalam kasus pembelaan diri langsung. Israel tidak memiliki keduanya. Jet melintasi perbatasan, bom dijatuhkan, dan pergi dalam keheningan.
Catatan sejarah menunjukkan pola yang sama selama beberapa dekade. Tanah Palestina diduduki sejak 1967, meskipun ada keputusan PBB. Pemukiman dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Internasional.
Langit Lebanon dilanggar setiap hari. Beirut dihantam pada tahun 2006 oleh Israel, dengan PBB menyatakan serangan itu tidak proporsional. Wilayah Suriah telah diserang ratusan kali.
Konsulat Iran di Damaskus diledakkan pada tahun 2024 oleh Israel, meskipun ada perlindungan di bawah Konvensi Wina. Reaktor Osirak di Irak dihancurkan pada tahun 1981, yang dikutuk sebagai agresi oleh Dewan Keamanan.
Yaman juga menanggung luka.
Pada Juli 2024, Operasi Long Arm menyerang Pelabuhan Hudaida setelah drone Houthi mencapai Tel Aviv. Listrik padam. Warga sipil tewas. Serangan berlanjut pada September, Desember, Januari.
Pada Mei 2025, sebagian Bandara Sanaa diratakan. Ras Isa, Salif, dan pelabuhan Hudaida diserang. Ratusan tewas. Pada Agustus 2025, rudal Israel menghujani istana presiden dan depot bahan bakar. Kemudian bulan itu, Perdana Menteri Ahmed al-Rahawi dan komandan senior dibunuh.
Israel menyebutnya sebagai kemenangan yang penting.
Korban sangat besar. Gaza saja, hampir 65.000 orang tewas oleh Israel sejak 7 Oktober. Tepi Barat yang diduduki berada di bawah serangan yang semakin intensif. Pemukiman ilegal terus berkembang meskipun ada kecaman internasional.
Lebanon, 15.000 serangan, pembunuhan Hassan Nasrallah, invasi Oktober 2024 yang membuat satu juta orang mengungsi.
Suriah, puluhan serangan udara. Iran, dibom pada Juni 2025 selama lebih dari dua belas hari. Yordania, Mesir, Irak — wilayah udara dilanggar.
Pada 9 September 2025, Doha bergabung dalam daftar tersebut.
Pola ini jelas. Ketika kedaulatan menjadi penghalang, ia diabaikan. Ketika hukum menjadi penghalang, ia diabaikan.
Setiap serangan Israel melampaui perbatasan, setiap pembunuhan, setiap tindakan impunitas mengikis lapisan demi lapisan dari tatanan rapuh yang dibangun setelah 1945.
Setiap kota, setiap negara, setiap kematian warga sipil menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman.
Diplomasi bertemu kekerasan
Doha berbeda hanya dalam keberaniannya. Qatar adalah sekutu AS. Negara ini menjadi tuan rumah salah satu pangkalan udara regional terbesar Washington. Qatar adalah perantara yang diandalkan oleh sekutu Israel sendiri.
Dengan membomnya, Israel mengirimkan pesan bahwa tidak ada ibu kota yang tak tersentuh, bahwa tidak ada aliansi yang menawarkan perlindungan, bahwa norma internasional dapat dihapus sesuai jadwal yang mereka tentukan.
Dari Gaza ke Yaman, Lebanon ke Doha, pola Israel tidak berubah: pendudukan, pembunuhan, serangan udara, invasi. Warga sipil dihitung sebagai kerugian sampingan.
Setiap tindakan membangun cerita yang sama: Israel bertindak dengan keyakinan bahwa dunia akan menerima dampaknya.
Setiap serangan adalah pelajaran bahwa aturan tatanan, yang ditulis setelah 1945, dapat diabaikan ketika tujuan militer menuntutnya.
Kini Doha bergabung dalam daftar kelam tersebut. Gaza, Tepi Barat yang diduduki, Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, Iran, dan kini Qatar. Setiap tempat membawa jejak agresi Israel.
Serangan Israel pada hari Selasa di Doha lebih dari sekadar perhitungan militer. Ini adalah pesan kepada kawasan, kepada sekutu, kepada dunia.
Kedaulatan adalah sesuatu yang dapat dinegosiasikan. Hukum internasional hanyalah kertas.
