Dunia mulai berpaling dari Israel, satu per satu
PERANG GAZA
5 menit membaca
Dunia mulai berpaling dari Israel, satu per satuSaat perang Israel di Gaza semakin memuncak pada Mei 2025, sekutu-sekutu Barat mulai meninjau ulang hubungan mereka dengan pemerintahan Netanyahu.
Tekanan publik meningkat terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memprioritaskan kesepakatan gencatan senjata, bahkan ketika pemerintahannya terus melancarkan perang di Gaza. / Reuters
22 Mei 2025

Saat Israel menggencarkan perang di Gaza dan memperketat blokade yang melumpuhkan kehidupan, negara itu justru makin terisolasi secara diplomatik, bahkan dari sekutu-sekutu terdekatnya di Barat. Puluhan warga Palestina tewas dalam serangan udara terbaru, sementara puluhan ribu lainnya kembali mengungsi, kehilangan tempat tinggal dan fasilitas penting untuk bertahan hidup.

Dengan dimulainya invasi darat berskala penuh dan blokade yang tak kunjung reda, sejumlah negara sahabat mulai menjauh—secara diplomatik, ekonomi, dan moral—dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Pada 16 Mei 2025, militer Israel meluncurkan tahap awal invasi bertajuk “Kereta Perang Gideon”. Serangan ini disetujui kabinet keamanan Netanyahu sejak 5 Mei, menyusul dua bulan blokade total atas makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar yang telah mendorong warga Gaza ke ambang kelaparan.

Hanya lima truk bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza pada 20 Mei—jauh dari cukup, mengingat kebutuhan harian mencapai 500 truk. Kekhawatiran akan pendudukan jangka panjang meningkat setelah pejabat Israel memastikan, pada 7 Mei, bahwa pasukan mereka akan tetap berada di Gaza bahkan setelah operasi militer selesai.

Menurut analis politik Husamettin Inac, strategi Israel kini telah melampaui batas toleransi banyak pihak di Barat.

“Kebijakan genosida dan ekspansi wilayah sudah tak bisa lagi dibenarkan Uni Eropa,” ujarnya kepada TRT World. “Bahkan Inggris—yang dulu ikut membentuk negara Israel—tak lagi bisa menoleransi pemerintahan Netanyahu.”

Titik balik di London

Pada 17 Mei, setengah juta orang memadati jalanan menuju Downing Street di London, menyerukan agar Inggris memutus hubungan dengan Israel. Para demonstran—yang juga datang dari Wales dan Irlandia Utara—menggelar aksi untuk memperingati 77 tahun Nakba, dan menuntut Inggris bertindak tegas atas apa yang mereka sebut sebagai pembersihan etnis terhadap warga Palestina.

Pada 19 Mei, Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menangguhkan perundingan perdagangan bebas dengan Israel, dan mengecam pernyataan para menteri Israel yang ingin “memurnikan Gaza” sebagai tindakan keji dan ekstrem.

“Inggris adalah kekuatan paling berperan dalam pembentukan Israel, mulai dari Deklarasi Balfour hingga masa Mandat Inggris,” tambah Profesor Inac. “Fakta bahwa bahkan Inggris kini tak lagi bisa menoleransi pemerintahan Netanyahu adalah momen penting dalam sejarah.”

Pemerintah Inggris pun memanggil duta besar Israel dan menjatuhkan sanksi terhadap pemukim Israel yang melakukan kekerasan di Tepi Barat. Dalam pernyataannya di parlemen, Lammy mengecam tindakan Israel sebagai “keji” dan “bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hubungan bilateral kita”. Ia juga menyebut bahwa peta jalan hubungan masa depan dengan Israel sedang dievaluasi ulang.

Inggris memang memiliki peran sentral dalam lahirnya negara Israel—sebagai kekuatan mandatori sejak 1920 hingga 1947, khususnya melalui Deklarasi Balfour 1917 yang menjadi pijakan awal berdirinya negara tersebut.

Karena itu, menurut Inac, sangat signifikan bila negara seberpengaruh itu tak lagi dapat menerima tindakan pemerintah Israel.

Eropa bergeser

Tak lama setelah langkah Inggris, Uni Eropa mengumumkan akan meninjau secara resmi Association Agreement dengan Israel, kerangka hukum yang selama ini menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi kedua pihak. Keputusan itu diambil berdasarkan Pasal Dua, yang mewajibkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi.

“Ada dukungan kuat dari negara-negara anggota,” kata Kaja Kallas, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa. “Tekanan perlu diberikan untuk mengubah situasi.”

Menurut Inac, momentum sangat menentukan. “Setelah lebih dari setahun kekerasan militer tanpa henti, para pemimpin Eropa tak bisa lagi mengabaikan tekanan dari rakyat mereka. Kemarahan publik sudah tumpah ke jalan, dan pemerintah takut kehilangan legitimasi jika terus diam.”

Prancis berkomitmen untuk mengakui negara Palestina. Menteri Luar Negeri Jean-Noel Barrot mengatakan negaranya tidak ingin meninggalkan anak-anak Gaza dengan warisan kekerasan dan kebencian.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Swedia juga menyatakan akan mendorong Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap para menteri Israel yang terlibat kejahatan perang dan pelanggaran HAM.

Inac meyakini kini ada kesepahaman tidak tertulis antara AS dan Eropa untuk mengakhiri perang di Gaza. “Ada konsensus diam-diam antara Amerika Serikat dan Eropa. Dengan adanya keselarasan ini, kemungkinan besar serangan di Gaza akan segera berakhir.”

Bahkan Washington mulai bergeser

Bahkan di Amerika Serikat—sekutu terdekat Israel—tanda-tanda peninjauan ulang mulai muncul, terutama dari kalangan elite Partai Republik.

“Trump bahkan tidak singgah di Israel dalam tur Timur Tengah terakhirnya,” ujar Inac. “Wakil Presiden JD Vance juga membatalkan kunjungannya ke Israel. Saya yakin ada alasan serius di balik semua ini.”

Salah satu penasihat terdekat Trump, Mike Walsh, kabarnya didekati lingkaran Netanyahu dalam upaya untuk mendorong Trump menyerang Iran. “Manipulasi jalur belakang ini dianggap Trump sebagai bentuk pengkhianatan,” kata Inac.

Menurutnya, pergeseran ini bersifat strategis sekaligus personal. “Doktrin ‘America First’ Trump telah mendorong munculnya kebijakan baru, di mana kepentingan dalam negeri AS harus diutamakan—termasuk menjaga jarak dari Israel. Ini adalah pergeseran yang cukup besar.”

Ia menekankan bahwa ini bukan perceraian total antara AS dan Israel, melainkan penolakan terhadap kepemimpinan Netanyahu. “Masalahnya bukan pada negara Israel, tapi pada pemerintahannya saat ini.”

Netanyahu juga tengah menghadapi tekanan besar di dalam negeri. Ia sedang diselidiki atas kasus korupsi, dan langkahnya untuk menyingkirkan tokoh-tokoh penting seperti kepala Shin Bet, Ronen Bar, justru memicu perlawanan dari dalam.

“Jika semua perkembangan ini disatukan, tampak jelas bahwa karier politik Netanyahu sedang menuju ujungnya—dan Israel tak akan bisa lagi menjalankan kebijakan genosida seperti sebelumnya,” tutup Inac. “Bahkan rakyat Israel sendiri kini mulai kehilangan kesabaran terhadap Netanyahu.”

SUMBER:TRT World and Agencies
Lihat sekilas tentang TRT Global. Bagikan umpan balik Anda!
Contact us