Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memperluas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat ke luar Jawa sebagai bagian dari perombakan unit-unit elite di seluruh cabang, The Jakarta Post melaporkan.
Penasihat khusus presiden untuk pertahanan negara, Dudung Abdurachman, mengatakan rencana tersebut mencakup pembentukan kelompok Kopassus baru di lokasi-lokasi strategis seperti Pekanbaru di Sumatera, Kendari di Sulawesi, serta Kalimantan dan Papua.
"Mengingat luasnya wilayah negara kita, Presiden yakin unit-unit tambahan diperlukan," kata Dudung, seorang purnawirawan jenderal dan mantan Kepala Staf Angkatan Darat, dalam sebuah wawancara dengan Tempo.
Kopassus, yang didirikan pada tahun 1952, terkenal karena keahliannya dalam peperangan non-konvensional, kontra-terorisme, intelijen, dan aksi langsung. Presiden Prabowo Subianto —yang memimpin Kopassus dari tahun 1995 hingga 1998—mengawasi unit tersebut selama periode ketika Tim Mawar dituduh menculik lebih dari 20 mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi menjelang jatuhnya rezim Soeharto. Prabowo secara konsisten membantah terlibat dalam peristiwa tersebut.
Saat ini kesatuan tersebut membawahi empat unit khusus, yakni Unit 1 aksi langsung (Serang, Banten), Unit 2 operasi rahasia (Kartasura, Jawa Tengah), Unit 3 pengintaian (Jakarta), dan satuan elite anti terror Sat-81 Gultor (Jakarta).
The Jakarta Post melaporkan bahwa Juru Bicara TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, tidak menanggapi pertanyaan seputar rencana perluasan tersebut. TNI juga berencana menaikkan pangkat Komandan Kopassus, Korps Marinir (Kormar) TNI Angkatan Laut, dan Komandan Pasukan Reaksi Cepat (Kopasgat) TNI Angkatan Udara dari bintang dua menjadi bintang tiga. Perubahan pangkat ini akan diresmikan dalam sebuah upacara di Batujajar, Jawa Barat, Minggu ini.

Tata kelola perluasan demokratis dan etis
Kelompok hak asasi manusia Imparsial mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa pemerintah harus mempertimbangkan rencana tersebut tidak hanya dari segi kebutuhan taktis, tetapi juga terkait dengan tata kelola yang demokratis dan pengerahan militer yang etis.
Kelompok HAM tersebut merujuk pada kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh personel Kopassus di masa lalu, termasuk penyiksaan Rumoh Geudong di Aceh (1989–1998), pembunuhan empat tahanan di penjara Cebongan, Yogyakarta (2013), dan insiden-insiden yang lebih baru di Boyolali dan Papua (2022).
"Ini jangan sampai menjadi jalan pintas yang melemahkan peran pasukan khusus dalam masyarakat demokratis," ujar Direktur Eksekutif Imparsial, Ardi Manto Adiputra, seraya menekankan bahwa satuan elit harus mengutamakan kualitas daripada kuantitas.
Ia juga memperingatkan bahwa komandan berpangkat tinggi dapat meningkatkan biaya infrastruktur dan personel, sehingga menambah beban anggaran pertahanan.
Namun, analis keamanan dan intelijen Stanislaus Riyanta menyambut baik perluasan tersebut, dan mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa hal itu merupakan langkah yang diperlukan untuk memperkuat pertahanan negara. "Unit elit seperti Kopassus harus ditempatkan sebelum ancaman muncul," ujarnya, seraya mengingatkan bahwa peluncuran tersebut harus diimbangi dengan kendala fiskal.
